Rabu, 25 November 2015

LAPISAN MASYARAKAT (STRATIFIKASI SOSIAL)

 
1.      Pengartian Lapisan Sosial (Stratifikasi Sosial)

         Realitas kehidupan masyarakat menunjukkan bahwa dalam kehidupan masyarakat baik masyarakat masih sederhana, maupun pada masyarakat yang sudah modern senantiasa terdapat lapisan masyarakat atau sering pula disebut stratifikasi sosial. Perbedaannya terletak pada kompleksitas dari kehidupan masyarakat yang bersangkutan dan kompleksitas itu sangat tergantung pada kondisi masyarakat itu sendiri.  Kondisi yang dimaksud seperti tradisi, adat-istiadat, atau budaya lokal, kondisi kehidupan ekonomi, dan kondisi politik yang berlaku pada saat tertentu.
       Pada zaman dahulu di Yunani negeri asal mula para filosof berteori seperti Aristoteles, sudah membagi masyarakat dalam 3(tiga) kelas. Pembagian itu didasarkan pada kesuksesan kehidupan ekonomi dalam masyarakat, yang karena itu masyarakat dikelompokkan ke dalam kelompok orang kaya, orang melarat/miskin dan ada kelompok yang ada diantaranya atau kelompok menengah. Pembagian seperti itu ternyata masih berlaku sampai sekarang dan berlaku dalam kehidupan masyarakat, dan bahkan diterima oleh masyarakat luas. Istilah orang miskin pada beberapa dekade lalu merupakan kata ’’sakral’’ yang pantang diberikan kepada sesorang atau kelompok, karena menyangkut harga diri dan martabat manusia, dan pada prinsipnya orang tidak senang disebut miskin atau melarat. Tetapi masa itu sudah berlalu dan nilai sudah berubah, sekarang ketika pemerintah menggulirkan bantuan untuk orang miskin seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin, Askes-Gakin  maka orang beramai-ramai mendaftarkan diri sebagai orang miskin. Kata miskin bukan lagi menjadi kata ’’sakral’’ dan tabu bagi banyak orang, tetapi orang lebih senang disebut miskin, bahkan marah kalau tidak didaftarkan sebagai orang miskin, walau tidak terlampuan miskin amat dan tidak termasuk kriteria yang telah ditetapkan. Dulu orang marah kalau disebut miskin, sekarang orang marah kalau tidak disebut miskin, lalu kapan orang tidak marah lagi, kalau semua sudah kaya, dan kapan semua orang kaya.      
        Terdapat 2 (dua) istilah yang agak rancu dalam penggunaannya, yaitu lapisan masyarakat atau stratifikasi sosial dan kelas sosial. Sebagai contoh suatu kelompok masyarakat dalam lapisan yang sama, tetapi berbeda kelas, jadi lapisan sosial itu lebih luas daripada kelas sosial, kelas sosial adalah bagian dari lapisan sosial.  Kelompok dosen disuatu perguruan tinggi, adalah gambaran dari suatu lapisan masyarakat atau stratifikasi sosial. Di dalam kehidupan kelompok dosen itu terdapat perbedaan seperti hubungan senior-junior, hirarkhi kepangkatan/jabatan, kesuksesan kehidupan ekonomi, artinya terdapat kelas senior-junior, kelas asisten, dan  lektor, lektor kepala, guru besar, dan kelas pemilikan seperti yang punya, sedang, sampai kelas yang ’’tidak punya’’.    
          Setiap masyarakat memiliki indikator penghargan yang berbeda terhadap hal tertentu dalam masyarakat. Sebagai contoh  pada mulanya orang sangat menghargai kedudukan atau status keterunan seseorang  dalam masyarakat, dalam perkembangan terjadi perubahan nilai masyarakat, di mana orang lebih cenderung menghargai status  prestasi seseorang seperti pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pemilikan ekonomi dan jabatan atau status sosial formal sebagai faktor determinan dalam masyarakat. Kondisi seperti ini dengan mudah/sekilas dapat dipantau dalam kehidupan masyarakat. Ketika anda memasuki suatu kota akan dapat menyaksikan pengelompokkan lokasi dan tipe rumah  masyarakat seperti lokasi perumahan mewah dengan julukan pondok indah, graha indah, tetapi dapat pula menyaksikan kelompok Perumnas dengan gang sempit dan rumah dengan ukuran sederhana (RSS) bahkan perkampungan kumu dengan latar kehidupan yang sangat berbeda. Kondisi seperti ini menggambarkan sebuah fenomena sosial yang disebut lapisan yang senantiasa melingkari sebuah  kehidupan masyarakat yang disebut lapisan masyarakat atau stratifikasi sosial.       

2.      Sistem Lapisan Masyarakat.
a.  Terjadinya Lapisan.
         Kerap kali seorang politikus berpidato (baca kempanye) tidak jarang menjelaskan  bahwa di negeri ini tidak ada warga negara kelas 1 (satu), 2 (dua), 3(tiga) dan seterusnya, artinya tidak ada pembedaan dan setiap warga negara mempunyai hak yang sama, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Semua orang akan cenderung membenarkan pernyataan yang demikian politis itu, tetapi manakala kita menatap realita yang sesungguhnya tidaklah demikian. Penumpang kapal laut, kapal terbang, kamar hotel saja terdapat kelas, dengan fasilitas yang berbeda di mana secara tidak langsung membedakan kelompok masyarakat dengan latar yang berbeda. Pembedaan ini merupakan fenomena universal, diterima oleh masyarakat tanpa saran, apalagi kritik, walau tidak jarang menimbulkan kecemburun sosial antara lapisan masyarakat dan menyimpan konflik laten dalam masyarakat.  
         Pertanyaan yang muncul bagaimana hal itu terjadi, Soekatno (2002) menjelaskan proses terjadinya lapisan masyarakat itu sebagai berikut :
1). Distrubsi hak-hak istimewa yang obyektif seperti pendidikan, penghasilan dan    pemilikan dan lain-lain
2). Sistem prestasi dan prestise serta pengahargaan
3). Kualitas pribadi, kekuasaan dan wewenang
4). Lambang atau simbol kehidupan, berpakaian, berkenderaan, perumahan, anggota organisasi dan lain-lain

b.  Sifat Lapisan
             Pada mulanya kehidupan suatu kelompok masyarakat bersifat semi tetap atau tetap, artinya lambat ataupun membatasi kemungkinan pindahnya seseorang atau kelompok untuk berpidah secara vertikal dalam kehidupan masyarakat. Kondisi masyarakat yang demikian disebut sifat masyarakat tertutup (closed social stratification). Sifat yang demikian tidak memungkinkan orang atau kelompok lain masuk menjadi bagian dari anggota kelompok tersebut. Pada umumnya terjadi pada masyarakat bersifat kasta,  masyarakat feodal dan perbedaan rasial.  Sistem demikian berdasarkan keturunan yang bersifat turun-temurun, dari generasi kegenerasi yang bersifat kaku yang dapat menimbulkan dikotomi dalam kehidupan masyarakat.
               Sebaliknya dalam masyarakat yang penuh dinamika demokrasi dan  reformasi terbuka dapat memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi siapa saja berpeluang masuk dalam kelompok masyarakat tersebut. Kondisi masyarakat yang demikian disebut masyarakat terbuka (open social stratification). Pada masyarakat yang besifat terbuka didasarkaan status prestasi seseoraang melalui pendidikan, pekerjaan, pemilikan dan status sosial seseorang dalam masyarakat. 
     Sifat lapisan masyarakat yang demikian tertutup dapat kita temui di mana saja, baik tertutup secara terang-tearangan ataupun tertutup secara terselubung. Bagi negara yang baru merdeka dengan latar kerajaan yang diperintah oleh para raja atau para sultan pada umumnya mewarisi budaya masyarakat tertutup. Para pemimpinnya cenderung manganut budaya kepemimpinan kerajaan, seperti memutlakan pendapat, berbuat kesalahan tetapi tidak mau lengser dari jabatan, dengan dalih karena bertanggung jawab. Tengoklah negara dibelahan dunia lain manakala pimmpinan organisasi, politik, birokrat merasa gagal apalagi merasa berbuat kesalahan terhadap lembaga yang dipimpinnya, pada umumnya dengan rela lengser dari jabatannya,  hal seperti itu belum menjadi tradisi di negara kita. Kasus salah satu kampung di Jawa Barat tetimbun longsor sampah dan menewaskan puluhan jiwa, luberan/banjir lumpur panas di Kabupaten Sidowardjo, menyengsarakan sejumlah rakyat, banjir bandeng  di Kabupaten Sinjai dan di mana-manan, dianggap sebagai musibah alam biasa dan lembaga yang terkait tidak merasa terusik. Tindakan awalnya adalah masyarakat yang salah, kenapa mau tinggal di tempat sekitar sampah. Siapa yang pertama bermukim di situ, masyarakat yaitu perkampungan masyarakat atau perkampungan sampah, akhirnya masyarakat ramai-ramai menolak dijadikan tempat pembuangan sampah akhir (TPA), yang mengakibatkan Kota Bandung menjadi lautan sampah pada paru tahun 2006. Banjir karena penebangan liar, siapa pelaku penebang liar, masyarakat  secara turun temurun tinggal dan menetap disuatu lokasi tidak pantas medapat predikat seperti itu.  Masyarakat lokal pada umumnya memiliki kearifan lokal untuk menjaga lingkungan  sekitar secara turun temurun, yang karena itu kelompok yang bertindak ’’liar’’ dipastikan bukan masyarakat setempat, tetapi akibatnya dan korbannya adalah untuk masyarakat setempat. Itulah denamika komplesitas masyarakat yang mewarisi tradisi masyarakat tertutup.

c. Dasar Lapisan Masyarakat.
      Seperti uraian sebelumnya bahwa dari negeri asal mula para filosof seperti Aristotoles telah membagi atau mengelompokkan masyarakat ketika itu berangkat dari dasar ekonomi masyarakat, yang karena itu membagi masyarakat kaya, menengah dan masyarakat miskin  Pembagian pengelompokan masyarakat berdasarkan keddudukan ekonomi pada tahun 500  sebelum masehi itu, masih tetap menjadi landasan para teoritis ilmuan sosial sampai sekarang ini. Soekanto (2002), Horton dan Hunt (1999),  Sunarto (2000) dan Bruce Cohen (1983) dalam uraian tentang dasar lapisan masyarakat tetap mengacu pada berbagai landasan seperti ekonomi, kedudukan dan status dalam kehidupan masyarakat. Soekanto menjelaskan bahwa ukuran atau kriteria yang dipakai untuk mengelompokkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan masyarakat adalah sebagai berikut.

 1). Ukuran kekayaan; pada era sekarang terkadang menghormati seseorang bukan menghormati orang itu tetapi dihormati karena simbol yang melekat pada dirinya dan keluarganya.  Simbol yang melekat pada dirinya secara lahiria atau materi seperti berpakaian, kenderaan, rumah dengan segala perabotnya.

2). Ukuran kekuasaan; sudah dapat dipastikan bahwa kekuasan identik dengan kekuatan seseorang tampil berpengaruh di kalangan masyarakat. Orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan akan tampil sebagai sumber dan potensi berpengaruh yang mendapat pengakuan dan penghargaan dikalangan masyarakat luas selama ia memiliki predikat itu. Predikat itulah yang menempatkan ia pada posisi terdepan dan terpenting dikalangan masyarakat luas, sehingga terdaftar dalam deretan lapisan teratas.
3) Kehormatan, bila setiap orang ingin mendapat penghargaan dan penghormatan adalah   sifat yang manusiawi yang wajar, tetapi manakala menutut untuk dihargai dan dihormati adalah  yang manusia yang lebih dikuasai egois yang gila kehormatan dan penghargaan. Kehormatan  dan penghargaan akan datang pada saatnya, manakala sudah sampai pemenuhan kriteria yang ditetepkan oleh masyarakat. Kehormatan dan penghargaan   yang  diasandang oleh seseorang sebagai akumulasi dari tingkat pendidikan yang dimiliki, jenis pekerjaan yang dimiliki, terkait penghasilan yang diperoleh, dan berkolerasi dengan pemilikan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Akumulasi dari semua itu adala penghormatan yang akan diterima oleh seseorang dalam masyarakat.



4). Ukuran Ilmu Pengetahuan   
        Kebutuhan dasar manusia selalu meningkat sesuai tingkat kemajuan masyarakat, itu yang selalu dititahkan oleh Maslow. Maslow menyebut kebutuhan dasar adalah sandang, papan dan pangan akan meningkat sesuai tingkat kemajuan masyarakat. Sekarang kebutuhan dasar sudah meningkat yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, informasi dan pendidikan, itu artinya teori  Maslow  itu benar. Tetapi Maslow tidak menjelaskan bagaimnan memenuhi kebutuhan itu dengan cara yang halal atau dengan cara yang lain termasuk memperoleh ilmu atau memperoleh sebuah ijazah, itu bukan karena Maslow lupa tetapi itu terserah kepada nurani setiap orang,   Ilmu adalah bagian dari pengetahuan manusia, jadi pengetahuan itu luas dan dimiliki oleh setiap orang, tetapi ilmu tidak dimiliki oleh setiap orang, ilmu hanya dimiliki melalui proses pendidikan formal atau non formal.  
       Pendidikan sekarang sudah termasuk kebutuhan dasar manusia, yang karena itu sedikit masalah yang menyangkut pendidikan semua orang angkat bicara dari petinggi sampai tukang ojek dan tukang beca, penjual di pasar tradisional sampai di pasar modern. Ini menunjukkan betapa pentingnya aspek pendidikan dalam kehidupan masyarakat, sehingga semua lapisan masyarakat sangat peduli, dan tidak tanggung-tanggung pemerintah mencanangkan Wajib Belajar Sembilan Tahun (Wajar), agar pada saatnya semua orang pada usia sekolah sudah melek huruf  latin. Tampaknya dunia pendidikan itu sangat  penting sehingga semua orang berkepentingan, kalau memang semua berkepentingan maka bagaimana agar pendidikan mulai berbena diri tidak saja hanya mengurus melek huruf, tetapi bagaimana meningkatkan kualitasnya. Kalau seorang anak tidak naik kelas, karena oleh wali kelasnya dianggap belum memenuhi syarat, maka orang tuanya jangan cepat komplain dan memaksakan guru agar anak dinaikan kelas, kalau anak itu tidak lulus ujian akhir dan ramai-ramai  turun ke jalan, karena  orang tua murid merasa anaknya pintar, tetapi kenapa tidak lulus. Ini delamtika pendidikan, karena masyarakat sudah tidak percaya kepada kaum pendidik yang diserahi tugas untuk mendidik anak-anak. Bagaimana membuktikan seorang itu pintar atau cerdas secara akademik, sementara ini hanya diukur dari kemajuan belajar melalui laporan setiap kuartal, semester dan ujian termasuk ujian akhir nasional.   
     Semua delamtik  diatas sesungguhnya adalah efek bumerang terhadap sebuah kebijakan dalam dunia pendidikan kita di Indonesia
       Pada  tahun ajaran 2004/2005 ada kebijakan ujian ulangan bagi siswa yang belum lulus pada ujian tahap pertama. Mereka menempuh ujian ulangan tahap ke dua, dan tahap ke dua  ini berpeluang untuk diluluskan. Kebijakan baru berjalan setahun itu kemudian mengalami perubahan pada tahun ajaran 2005/2006, yaitu ujian akhir tanpa ujian ulangan,  yang spontan menuai protes keras dari siswa yang tdak lulus dan orang tua siswa. Lalu muncul kebijakan ikut  ujian paket C yang akan disetarakan dengan ijasah Sekolah Umum, kebijakan  itu tetap menuai pro kontra dari berbagai pihak termasuk dari beberapa lembaga pendidikan tinggi menolak menerima lulusan paket C.         
      Semua kejadian di atas sesungguhnya sebagai suatu gambaran bahwa masyarakat sudah mulai mengharagai ilmu dan pengetahuan, tetapi baru pada sikap menghargai tujuan dan belum menghargai proses, yang karena itu manakala tidak lulus, akan disertai protes, dan tidak mau mengetahui mengapa seorang peserta didik tidak lulus. Kalau seorang peserta didik lulus terbaik, tidak jarang mendapat pujian dan penghargaan selangit, tetapi kalau tidak lulus, maka jajaran guru yang mendapat getahnya, dan ketika tidak menghargai proses maka itu berarti cenderung tidak menghargai mutu pendidikan, tetapi lebih pada sekedar mengejar sebuah ijazah sebagai ’’surat keramat’’ untuk mencari sebuah gengsi sosial dan pengakuan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu itu begitu berharga dan membuat orang menjadi berharga, marilah kita mencari penghargaan dengan cara berharga dan bukan dengan cara murahan.     

C. Unsur Lapisan
       Dapat dipastikan bahwa setiap orang dalam lapisan masyarakat  manapun, dalam kajian sosiologi senantiasa dikaji aspek hubungan sosial yang menampilkan seseorang ditengah komunitasnya, sehingga ia mnempati kedudukan (status), dan setiap kedudukan menuntut adanya peran sosial (role) yang harus dijalankan sesuai tingkat kehidupan masyarakat yang bersangkutan.  Dalam setiap menjalin hubungan sosial atau interaksi sosial dengan orang lain atau kelompok lain, maka status dan peran seseorang akan menjadi ukuran, karena penyampaian suatu informasi kepada masyarakat, tidak semata-mata apa yang disampaikan tetapi juga siapa yang menyampaikan. Seseorang yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat maka terdapat kecenderungan dihargai sepanjang ia menjalakna perannya dengan baik sesuai harapan masyarakat.

1.  Kedudukan (Status)
       Kedudukan (status), dan satus sosial  pada prinsipnya dua istilah yang larut didalamnya, karena kedudukan menggambarkan tentang posisi seseorang, sedangkan status sosial lebih menggambarkan kehadiran dan jalinan hubungan sosial dengan masyarakat lingkungannya yang dikaitkan denagn pengaruhnya, prestasinya, prestisenya dan berbagai hak dan kewajiban yang dijalankannya. Oleh karena itu dalam tulisan ini selanjutnya digunkana istilah  kedudukan (status) yang terkait dengan peran yang dijalankan (social role).
        Kedudukan seseorang dalam masyarakat sangat terkait dengan kondisi masyarakat, pada masyarakat yang semakin modern akan menampilkan seseorang memiliki lebih dari beberapa kedudukan dalam masyarakat, karena terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi baik yang terkait dengan profesinya maupun dalam organisasi kemasyarakatan lainnya. Dalam kenyataan bahwa seseorang dapat saja memilki sejumlah kedudukan  dalam masyarakat, tetapi dalam kajian teori sosiologi pada umumya membagi kedudukan (status) menjadi 2 (dua) macam yaitu;  Status tertutup (Ascribed Status), dan status terbuka (Achieved Status)

 a. Status Tertutup (Ascribed Status).
        Kedudukan sosial yang demikian pada umumnya dijumpai pada system masyarakat tertutup seperti, masyarakat feodal, raja atau sultan atau masyarakat yang menerapkan system kasta dalam  kehidupan masyarakatnya. Dalam konteks itu maka seseorang yang  tampil dalam suatu kedudukan dalam masyarakat seperti ‘’raja atau sultan’’ karena status keturunan yang duturnkan secara turun temurun. Dalam perkembangan kompleksitas masyarakat dapat saja terjadi praktek masyarakat tertutup, misalnya suatu jabatan formal tetapi berada pada sutau kelompok tertentu atau kelompok etnis/ marga tertentu, dengan dalih bahwa itu pilihan  dan kepercyaan dari masyarakat., hal seperti itu menggiring orang  untuk masuk perangkap ataupun dapat saja terjadi karena syistem nepotisme.


b. Status Terbuka (Achieved Status)    
         Seorang yang memperoleh kedudukan dalam masyarakat, bukan karena status kelahiran atau keturunan, tetapi seseorang mencapai suatu kedudukan karena prestasi yang dicapai melalui  pendidikan, politik, status ekonomi dan lain-lain. Artinya suatu kedudukan diberikan diadasarkan prestasi dalam dunia pendidikan yang kemudian mendapat penghargaan dari pemerintah dan masyarakat dalam bentuk kedudukan yang tentu menuntut suatu peran sosial dalam masyarakat.  Seorang pimpinan partai politik tentu tidak serta merta menduduki jabatan elite seperti  ketua, atau sekretaris, tetapi melalui suatu proses kaderisasi dan yang bersangkutan telah menunjukkan prestasi politiknya baik dikalangan intenal partainya maupun dikalangan masyarakat luas.

3.      Peran (Role)
  Peranan dan kedudukan adalah dua sisi mata uang yang hanya dapat dibolak-balik tetapi tidak dapat dipisahkan, merupakan paket atau sistem yang dilakoni oleh seseorang dalam kehidupan masyarakat dan bermasyarakat. Peranan adalah aspek dinamis dari kedudukan seseorang, manakala seseorang telah menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dapat dikatakan bahwa ia telah menjalankan suatu peran (role). Peranan seseorang dalam masyarakat dapat saja muncul lebih dari satu peran karena tuntutan dan perkembangan suatu kehidupan masyarakat. Keragaman peran menggambarkan apa yang dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat yang pada prisnsipnya peran diberikan dan menjadi harapan oleh masyarakat. 
Dalam menjalankan peran (role) bahwa seseorang harus dapat menyesuaikan dirinyan, dan peran yang diembannya dengan lingkungan masyarakat. Hal itu penting karena peran yang diembannya senantiasa diatur dan diawasi oleh berbagai nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Terdapat  2(dua) istilah yang dalam penggunannya berimpit tetapi sesunggunhya berbeda yaitu peran (role) dan posisi (social position) dalam masyarakat,  keduanya juga merupakan suatu sistem. Peran (role) unsur atau komponen yang  dinamis, sedangkan  posisi lebih cenderung merupakan komponen yang statis. Seseorang menjadi anggota dari suatu kelompok organisasi formal atau informal, artinya seseorang memiliki posisi sebagai ketua, sekretaris, bendahara atau salah satu sekesi (dalam kepanitian), dan ketika ia menjalankan fungsinya sesuai kapasitasnya dalam kepanitian, artinya ia menjalankan fungsinya dan ketika itu pula ia menjalankan perannya (role). Oleh karena itu peran (role) lebih menunjuk pada fungsi dan menjalankan fungsi, sedangkan posisi lebih pada tempat seseorang dalam suatu organisasi. Struktur oragisasi dalam contoh seperti kepanitian itu, adalah hal yang statis (ketua, sekrataris, bendahara, sejumlah seksi) itu adalah unsur yang permanen dari panitia kepanitian, tetapi peran dari tiap-tiap komponen dapat saja berubah dan itu sangat tergantung personil yang bermain di dalamnya atau siapa pelakunya (menjalankan perannya). Menurut Soekanto (2002:), bahwa peran itu mencakup 3(tiga) hal penting yaitu, (1) peran (role) meliputi norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat, (2) peran adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu, dalam masyarakat sebagai oraganisasi, dan (3) peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.   
       Dalam setiap menjalankan peran sosial, pada umumnya masyarakat menyediakan dan memberikan berbagai fasilitas  (role facilities) untuk digunakan untuk menunjang menjalankan perannya dalam masyarakat. Pemberian  Fasilitas ( role facilities) dalam menunjang suatu peran (role) itu sangat tergantung kondisi suatu kelompok masyarakat yang bersangkutan.
     Dalam kedudukan (status) serta menjalankan peran sosial ( social role) tidak jarang   terjadi apa yang disebut konflik status ( status conflict) dan konflik peran (conflict role) yang kemdian lebih populer disebut kesejangan peran ( role distance). Hal itu terjadi karena  seseorang tidak mempau menjalankan perannya yang diberikan dan dipercayakan oleh masyarakat kepadanya, sehingga peran yang diembannya menjadi suatu beban atau tekanan terhadap dirinya. Kegagalan perannya dapat saja disebabkan oleh peran ganda oleh seseorang artinya seseorang telah merangkap berbagai jabatan penting dalam masyarakat sehingga tidak dapat melaksanakan perannya secara proposional, yang pada akhirnya ia akan mengalami kegagalan dalam menjalankan perannya.