1. Pengartian Lapisan Sosial (Stratifikasi Sosial)
Realitas kehidupan masyarakat menunjukkan bahwa
dalam kehidupan masyarakat baik masyarakat masih sederhana, maupun pada
masyarakat yang sudah modern senantiasa terdapat lapisan masyarakat atau sering
pula disebut stratifikasi sosial. Perbedaannya terletak pada kompleksitas dari
kehidupan masyarakat yang bersangkutan dan kompleksitas itu sangat tergantung pada
kondisi masyarakat itu sendiri. Kondisi
yang dimaksud seperti tradisi, adat-istiadat, atau budaya lokal, kondisi
kehidupan ekonomi, dan kondisi politik yang berlaku pada saat tertentu.
Pada
zaman dahulu di Yunani negeri asal mula para filosof berteori seperti
Aristoteles, sudah membagi masyarakat dalam 3(tiga) kelas. Pembagian itu
didasarkan pada kesuksesan kehidupan ekonomi dalam masyarakat, yang karena itu
masyarakat dikelompokkan ke dalam kelompok orang kaya, orang melarat/miskin dan
ada kelompok yang ada diantaranya atau kelompok menengah. Pembagian seperti itu
ternyata masih berlaku sampai sekarang dan berlaku dalam kehidupan masyarakat,
dan bahkan diterima oleh masyarakat luas. Istilah orang miskin pada beberapa
dekade lalu merupakan kata ’’sakral’’ yang pantang diberikan kepada sesorang
atau kelompok, karena menyangkut harga diri dan martabat manusia, dan pada
prinsipnya orang tidak senang disebut miskin atau melarat. Tetapi masa itu
sudah berlalu dan nilai sudah berubah, sekarang ketika pemerintah menggulirkan
bantuan untuk orang miskin seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin,
Askes-Gakin maka orang beramai-ramai
mendaftarkan diri sebagai orang miskin. Kata miskin bukan lagi menjadi kata ’’sakral’’
dan tabu bagi banyak orang, tetapi orang lebih senang disebut miskin, bahkan
marah kalau tidak didaftarkan sebagai orang miskin, walau tidak terlampuan
miskin amat dan tidak termasuk kriteria yang telah ditetapkan. Dulu orang marah
kalau disebut miskin, sekarang orang marah kalau tidak disebut miskin, lalu
kapan orang tidak marah lagi, kalau semua sudah kaya, dan kapan semua orang
kaya.
Terdapat
2 (dua) istilah yang agak rancu dalam penggunaannya, yaitu lapisan masyarakat
atau stratifikasi sosial dan kelas sosial. Sebagai contoh suatu kelompok
masyarakat dalam lapisan yang sama, tetapi berbeda kelas, jadi lapisan sosial
itu lebih luas daripada kelas sosial, kelas sosial adalah bagian dari lapisan
sosial. Kelompok dosen disuatu perguruan
tinggi, adalah gambaran dari suatu lapisan masyarakat atau stratifikasi sosial.
Di dalam kehidupan kelompok dosen itu terdapat perbedaan seperti hubungan
senior-junior, hirarkhi kepangkatan/jabatan, kesuksesan kehidupan ekonomi,
artinya terdapat kelas senior-junior, kelas asisten, dan lektor, lektor kepala, guru besar, dan kelas
pemilikan seperti yang punya, sedang, sampai kelas yang ’’tidak punya’’.
Setiap
masyarakat memiliki indikator penghargan yang berbeda terhadap hal tertentu
dalam masyarakat. Sebagai contoh pada
mulanya orang sangat menghargai kedudukan atau status keterunan seseorang dalam masyarakat, dalam perkembangan terjadi
perubahan nilai masyarakat, di mana orang lebih cenderung menghargai
status prestasi seseorang seperti
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pemilikan ekonomi dan jabatan atau status
sosial formal sebagai faktor determinan dalam masyarakat. Kondisi seperti ini
dengan mudah/sekilas dapat dipantau dalam kehidupan masyarakat. Ketika anda
memasuki suatu kota akan dapat menyaksikan pengelompokkan lokasi dan tipe
rumah masyarakat seperti lokasi
perumahan mewah dengan julukan pondok indah, graha indah, tetapi dapat pula
menyaksikan kelompok Perumnas dengan gang sempit dan rumah dengan ukuran
sederhana (RSS) bahkan perkampungan kumu dengan latar kehidupan yang sangat
berbeda. Kondisi seperti ini menggambarkan sebuah fenomena sosial yang disebut lapisan
yang senantiasa melingkari sebuah kehidupan masyarakat yang disebut lapisan
masyarakat atau stratifikasi sosial.
2.
Sistem Lapisan Masyarakat.
a. Terjadinya Lapisan.
Kerap kali seorang politikus berpidato (baca
kempanye) tidak jarang menjelaskan bahwa
di negeri ini tidak ada warga negara kelas 1 (satu), 2 (dua), 3(tiga) dan
seterusnya, artinya tidak ada pembedaan dan setiap warga negara mempunyai hak
yang sama, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Semua orang akan
cenderung membenarkan pernyataan yang demikian politis itu, tetapi manakala
kita menatap realita yang sesungguhnya tidaklah demikian. Penumpang kapal laut,
kapal terbang, kamar hotel saja terdapat kelas, dengan fasilitas yang berbeda
di mana secara tidak langsung membedakan kelompok masyarakat dengan latar yang
berbeda. Pembedaan ini merupakan fenomena universal, diterima oleh masyarakat
tanpa saran, apalagi kritik, walau tidak jarang menimbulkan kecemburun sosial
antara lapisan masyarakat dan menyimpan konflik laten dalam masyarakat.
Pertanyaan yang muncul bagaimana hal itu
terjadi, Soekatno (2002) menjelaskan proses terjadinya lapisan masyarakat itu
sebagai berikut :
1). Distrubsi
hak-hak istimewa yang obyektif seperti pendidikan, penghasilan dan pemilikan dan lain-lain
2). Sistem
prestasi dan prestise serta pengahargaan
3).
Kualitas pribadi, kekuasaan dan wewenang
4). Lambang
atau simbol kehidupan, berpakaian, berkenderaan, perumahan, anggota organisasi
dan lain-lain
b. Sifat Lapisan
Pada mulanya kehidupan suatu kelompok
masyarakat bersifat semi tetap atau tetap, artinya lambat ataupun membatasi
kemungkinan pindahnya seseorang atau kelompok untuk berpidah secara vertikal dalam
kehidupan masyarakat. Kondisi masyarakat yang demikian disebut sifat masyarakat
tertutup (closed social stratification). Sifat yang demikian tidak memungkinkan
orang atau kelompok lain masuk menjadi bagian dari anggota kelompok tersebut.
Pada umumnya terjadi pada masyarakat bersifat kasta, masyarakat feodal dan perbedaan rasial. Sistem demikian berdasarkan keturunan yang
bersifat turun-temurun, dari generasi kegenerasi yang bersifat kaku yang dapat
menimbulkan dikotomi dalam kehidupan masyarakat.
Sebaliknya dalam masyarakat yang penuh
dinamika demokrasi dan reformasi terbuka
dapat memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi siapa saja berpeluang masuk
dalam kelompok masyarakat tersebut. Kondisi masyarakat yang demikian disebut
masyarakat terbuka (open social stratification). Pada masyarakat yang besifat
terbuka didasarkaan status prestasi seseoraang melalui pendidikan, pekerjaan,
pemilikan dan status sosial seseorang dalam masyarakat.
Sifat lapisan masyarakat yang demikian
tertutup dapat kita temui di mana saja, baik tertutup secara terang-tearangan
ataupun tertutup secara terselubung. Bagi negara yang baru merdeka dengan latar
kerajaan yang diperintah oleh para raja atau para sultan pada umumnya mewarisi
budaya masyarakat tertutup. Para pemimpinnya cenderung manganut budaya
kepemimpinan kerajaan, seperti memutlakan pendapat, berbuat kesalahan tetapi
tidak mau lengser dari jabatan, dengan dalih karena bertanggung jawab.
Tengoklah negara dibelahan dunia lain manakala pimmpinan organisasi, politik,
birokrat merasa gagal apalagi merasa berbuat kesalahan terhadap lembaga yang
dipimpinnya, pada umumnya dengan rela lengser dari jabatannya, hal seperti itu belum menjadi tradisi di
negara kita. Kasus salah satu kampung di Jawa Barat tetimbun longsor sampah dan
menewaskan puluhan jiwa, luberan/banjir lumpur panas di Kabupaten Sidowardjo,
menyengsarakan sejumlah rakyat, banjir bandeng di Kabupaten Sinjai dan di mana-manan,
dianggap sebagai musibah alam biasa dan lembaga yang terkait tidak merasa
terusik. Tindakan awalnya adalah masyarakat yang salah, kenapa mau tinggal di
tempat sekitar sampah. Siapa yang pertama bermukim di situ, masyarakat yaitu
perkampungan masyarakat atau perkampungan sampah, akhirnya masyarakat ramai-ramai
menolak dijadikan tempat pembuangan sampah akhir (TPA), yang mengakibatkan Kota
Bandung menjadi lautan sampah pada paru tahun 2006. Banjir karena penebangan
liar, siapa pelaku penebang liar, masyarakat secara turun temurun tinggal dan menetap
disuatu lokasi tidak pantas medapat predikat seperti itu. Masyarakat lokal pada umumnya memiliki
kearifan lokal untuk menjaga lingkungan sekitar
secara turun temurun, yang karena itu kelompok yang bertindak ’’liar’’
dipastikan bukan masyarakat setempat, tetapi akibatnya dan korbannya adalah
untuk masyarakat setempat. Itulah denamika komplesitas masyarakat yang mewarisi
tradisi masyarakat tertutup.
c. Dasar Lapisan Masyarakat.
Seperti uraian sebelumnya bahwa dari negeri asal
mula para filosof seperti Aristotoles telah membagi atau mengelompokkan
masyarakat ketika itu berangkat dari dasar ekonomi masyarakat, yang karena itu
membagi masyarakat kaya, menengah dan masyarakat miskin Pembagian pengelompokan masyarakat
berdasarkan keddudukan ekonomi pada tahun 500 sebelum masehi itu, masih tetap menjadi
landasan para teoritis ilmuan sosial sampai sekarang ini. Soekanto (2002),
Horton dan Hunt (1999), Sunarto (2000)
dan Bruce Cohen (1983) dalam uraian tentang dasar lapisan masyarakat tetap
mengacu pada berbagai landasan seperti ekonomi, kedudukan dan status dalam
kehidupan masyarakat. Soekanto menjelaskan bahwa ukuran atau kriteria yang
dipakai untuk mengelompokkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan
masyarakat adalah sebagai berikut.
1). Ukuran kekayaan; pada era sekarang
terkadang menghormati seseorang bukan menghormati orang itu tetapi dihormati
karena simbol yang melekat pada dirinya dan keluarganya. Simbol yang melekat pada dirinya secara
lahiria atau materi seperti berpakaian, kenderaan, rumah dengan segala
perabotnya.
2). Ukuran
kekuasaan; sudah dapat dipastikan bahwa kekuasan identik dengan kekuatan
seseorang tampil berpengaruh di kalangan masyarakat. Orang yang memiliki
kekuasaan dan kekuatan akan tampil sebagai sumber dan potensi berpengaruh yang
mendapat pengakuan dan penghargaan dikalangan masyarakat luas selama ia memiliki
predikat itu. Predikat itulah yang menempatkan ia pada posisi terdepan dan
terpenting dikalangan masyarakat luas, sehingga terdaftar dalam deretan lapisan
teratas.
3) Kehormatan, bila
setiap orang ingin mendapat penghargaan dan penghormatan adalah sifat yang manusiawi yang wajar, tetapi
manakala menutut untuk dihargai dan dihormati adalah yang manusia yang lebih dikuasai egois
yang gila kehormatan dan penghargaan. Kehormatan dan penghargaan akan datang pada saatnya,
manakala sudah sampai pemenuhan kriteria yang ditetepkan oleh masyarakat. Kehormatan
dan penghargaan yang diasandang oleh seseorang sebagai akumulasi
dari tingkat pendidikan yang dimiliki, jenis pekerjaan yang dimiliki, terkait
penghasilan yang diperoleh, dan berkolerasi dengan pemilikan atau kekayaan yang
dimiliki oleh seseorang. Akumulasi dari semua itu adala penghormatan yang akan
diterima oleh seseorang dalam masyarakat.
4). Ukuran Ilmu Pengetahuan
Kebutuhan dasar manusia selalu meningkat sesuai tingkat kemajuan
masyarakat, itu yang selalu dititahkan oleh Maslow. Maslow menyebut kebutuhan
dasar adalah sandang, papan dan pangan akan meningkat sesuai tingkat kemajuan
masyarakat. Sekarang kebutuhan dasar sudah meningkat yaitu sandang, pangan,
papan, kesehatan, informasi dan pendidikan,
itu artinya teori Maslow itu benar. Tetapi Maslow tidak menjelaskan
bagaimnan memenuhi kebutuhan itu dengan cara yang halal atau dengan cara yang
lain termasuk memperoleh ilmu atau memperoleh sebuah ijazah, itu bukan karena
Maslow lupa tetapi itu terserah kepada nurani setiap orang, Ilmu adalah bagian dari pengetahuan manusia,
jadi pengetahuan itu luas dan dimiliki oleh setiap orang, tetapi ilmu tidak
dimiliki oleh setiap orang, ilmu hanya dimiliki melalui proses pendidikan
formal atau non formal.
Pendidikan
sekarang sudah termasuk kebutuhan dasar manusia, yang karena itu sedikit
masalah yang menyangkut pendidikan semua orang angkat bicara dari petinggi sampai
tukang ojek dan tukang beca, penjual di pasar tradisional sampai di pasar
modern. Ini menunjukkan betapa pentingnya aspek pendidikan dalam kehidupan
masyarakat, sehingga semua lapisan masyarakat sangat peduli, dan tidak
tanggung-tanggung pemerintah mencanangkan Wajib Belajar Sembilan Tahun (Wajar),
agar pada saatnya semua orang pada usia sekolah sudah melek huruf latin. Tampaknya dunia pendidikan itu
sangat penting sehingga semua orang
berkepentingan, kalau memang semua berkepentingan maka bagaimana agar
pendidikan mulai berbena diri tidak saja hanya mengurus melek huruf, tetapi
bagaimana meningkatkan kualitasnya. Kalau seorang anak tidak naik kelas, karena
oleh wali kelasnya dianggap belum memenuhi syarat, maka orang tuanya jangan
cepat komplain dan memaksakan guru agar anak dinaikan kelas, kalau anak itu
tidak lulus ujian akhir dan ramai-ramai turun ke jalan, karena orang tua murid merasa anaknya pintar, tetapi
kenapa tidak lulus. Ini delamtika pendidikan, karena masyarakat sudah tidak
percaya kepada kaum pendidik yang diserahi tugas untuk mendidik anak-anak.
Bagaimana membuktikan seorang itu pintar atau cerdas secara akademik, sementara
ini hanya diukur dari kemajuan belajar melalui laporan setiap kuartal, semester
dan ujian termasuk ujian akhir nasional.
Semua
delamtik diatas sesungguhnya adalah efek
bumerang terhadap sebuah kebijakan dalam dunia pendidikan kita di Indonesia
Pada
tahun ajaran 2004/2005 ada kebijakan ujian ulangan bagi siswa yang belum
lulus pada ujian tahap pertama. Mereka menempuh ujian ulangan tahap ke dua, dan
tahap ke dua ini berpeluang untuk
diluluskan. Kebijakan baru berjalan setahun itu kemudian mengalami perubahan
pada tahun ajaran 2005/2006, yaitu ujian akhir tanpa ujian ulangan, yang spontan menuai protes keras dari siswa
yang tdak lulus dan orang tua siswa. Lalu muncul kebijakan ikut ujian paket C yang akan disetarakan dengan
ijasah Sekolah Umum, kebijakan itu tetap
menuai pro kontra dari berbagai pihak termasuk dari beberapa lembaga pendidikan
tinggi menolak menerima lulusan paket C.
Semua kejadian di atas sesungguhnya sebagai suatu
gambaran bahwa masyarakat sudah mulai mengharagai ilmu dan pengetahuan, tetapi
baru pada sikap menghargai tujuan dan belum menghargai proses, yang karena itu
manakala tidak lulus, akan disertai protes, dan tidak mau mengetahui mengapa
seorang peserta didik tidak lulus. Kalau seorang peserta didik lulus terbaik,
tidak jarang mendapat pujian dan penghargaan selangit, tetapi kalau tidak
lulus, maka jajaran guru yang mendapat getahnya, dan ketika tidak menghargai
proses maka itu berarti cenderung tidak menghargai mutu pendidikan, tetapi
lebih pada sekedar mengejar sebuah ijazah sebagai ’’surat keramat’’ untuk
mencari sebuah gengsi sosial dan pengakuan masyarakat. Hal ini menunjukkan
bahwa ilmu itu begitu berharga dan membuat orang menjadi berharga, marilah kita
mencari penghargaan dengan cara berharga dan bukan dengan cara murahan.
C. Unsur Lapisan
Dapat dipastikan bahwa setiap orang dalam lapisan masyarakat manapun, dalam kajian sosiologi senantiasa dikaji
aspek hubungan sosial yang menampilkan seseorang ditengah komunitasnya,
sehingga ia mnempati kedudukan (status),
dan setiap kedudukan menuntut
adanya peran sosial (role) yang harus dijalankan sesuai tingkat kehidupan masyarakat
yang bersangkutan. Dalam setiap menjalin hubungan sosial atau
interaksi sosial dengan orang lain atau kelompok lain, maka status dan peran
seseorang akan menjadi ukuran, karena penyampaian suatu informasi kepada
masyarakat, tidak semata-mata apa yang disampaikan tetapi juga siapa yang
menyampaikan. Seseorang yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat maka
terdapat kecenderungan dihargai sepanjang ia menjalakna perannya dengan baik
sesuai harapan masyarakat.
1. Kedudukan (Status)
Kedudukan (status), dan satus sosial pada prinsipnya dua istilah yang larut
didalamnya, karena kedudukan menggambarkan tentang posisi seseorang, sedangkan
status sosial lebih menggambarkan kehadiran dan jalinan hubungan sosial dengan
masyarakat lingkungannya yang dikaitkan denagn pengaruhnya, prestasinya,
prestisenya dan berbagai hak dan kewajiban yang dijalankannya. Oleh karena itu
dalam tulisan ini selanjutnya digunkana istilah
kedudukan (status) yang
terkait dengan peran yang dijalankan (social
role).
Kedudukan seseorang dalam masyarakat sangat terkait dengan kondisi
masyarakat, pada masyarakat yang semakin modern akan menampilkan seseorang
memiliki lebih dari beberapa kedudukan dalam masyarakat, karena terlibat dalam
berbagai kegiatan organisasi baik yang terkait dengan profesinya maupun dalam
organisasi kemasyarakatan lainnya. Dalam kenyataan bahwa seseorang dapat saja
memilki sejumlah kedudukan dalam
masyarakat, tetapi dalam kajian teori sosiologi pada umumya membagi kedudukan
(status) menjadi 2 (dua) macam yaitu;
Status tertutup (Ascribed Status),
dan status terbuka (Achieved Status)
a. Status Tertutup (Ascribed
Status).
Kedudukan sosial yang demikian pada
umumnya dijumpai pada system masyarakat tertutup seperti, masyarakat feodal,
raja atau sultan atau masyarakat yang menerapkan system kasta dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam konteks itu
maka seseorang yang tampil dalam suatu
kedudukan dalam masyarakat seperti ‘’raja atau sultan’’ karena status keturunan
yang duturnkan secara turun temurun. Dalam perkembangan kompleksitas masyarakat
dapat saja terjadi praktek masyarakat tertutup, misalnya suatu jabatan formal
tetapi berada pada sutau kelompok tertentu atau kelompok etnis/ marga tertentu,
dengan dalih bahwa itu pilihan dan
kepercyaan dari masyarakat., hal seperti itu menggiring orang untuk masuk perangkap ataupun dapat saja
terjadi karena syistem nepotisme.
b. Status Terbuka (Achieved Status)
Seorang yang memperoleh kedudukan dalam
masyarakat, bukan karena status kelahiran atau keturunan, tetapi seseorang
mencapai suatu kedudukan karena prestasi yang dicapai melalui pendidikan, politik, status ekonomi dan
lain-lain. Artinya suatu kedudukan diberikan diadasarkan prestasi dalam dunia
pendidikan yang kemudian mendapat penghargaan dari pemerintah dan masyarakat
dalam bentuk kedudukan yang tentu menuntut suatu peran sosial dalam
masyarakat. Seorang pimpinan partai
politik tentu tidak serta merta menduduki jabatan elite seperti ketua, atau sekretaris, tetapi melalui suatu
proses kaderisasi dan yang bersangkutan telah menunjukkan prestasi politiknya
baik dikalangan intenal partainya maupun dikalangan masyarakat luas.
3.
Peran (Role)
Peranan dan kedudukan adalah dua sisi mata
uang yang hanya dapat dibolak-balik tetapi tidak dapat dipisahkan, merupakan
paket atau sistem yang dilakoni oleh seseorang dalam kehidupan masyarakat dan
bermasyarakat. Peranan adalah aspek dinamis dari kedudukan seseorang, manakala
seseorang telah menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya,
maka dapat dikatakan bahwa ia telah menjalankan suatu peran (role). Peranan
seseorang dalam masyarakat dapat saja muncul lebih dari satu peran karena tuntutan
dan perkembangan suatu kehidupan masyarakat. Keragaman peran menggambarkan apa
yang dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat yang pada prisnsipnya peran
diberikan dan menjadi harapan oleh masyarakat.
Dalam menjalankan peran (role)
bahwa seseorang harus dapat menyesuaikan dirinyan, dan peran yang diembannya
dengan lingkungan masyarakat. Hal itu penting karena peran yang diembannya
senantiasa diatur dan diawasi oleh berbagai nilai dan norma yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Terdapat 2(dua) istilah yang dalam penggunannya
berimpit tetapi sesunggunhya berbeda yaitu peran (role) dan posisi (social
position) dalam masyarakat, keduanya
juga merupakan suatu sistem. Peran (role) unsur atau komponen yang dinamis, sedangkan posisi lebih cenderung merupakan komponen
yang statis. Seseorang menjadi anggota dari suatu kelompok organisasi formal
atau informal, artinya seseorang memiliki posisi sebagai ketua, sekretaris,
bendahara atau salah satu sekesi (dalam kepanitian), dan ketika ia menjalankan
fungsinya sesuai kapasitasnya dalam kepanitian, artinya ia menjalankan
fungsinya dan ketika itu pula ia menjalankan perannya (role). Oleh karena itu
peran (role) lebih menunjuk pada fungsi dan menjalankan fungsi, sedangkan
posisi lebih pada tempat seseorang dalam suatu organisasi. Struktur oragisasi
dalam contoh seperti kepanitian itu, adalah hal yang statis (ketua, sekrataris,
bendahara, sejumlah seksi) itu adalah unsur yang permanen dari panitia
kepanitian, tetapi peran dari tiap-tiap komponen dapat saja berubah dan itu
sangat tergantung personil yang bermain di dalamnya atau siapa pelakunya
(menjalankan perannya). Menurut Soekanto (2002:), bahwa peran itu mencakup
3(tiga) hal penting yaitu, (1) peran (role) meliputi norma yang dihubungkan
dengan posisi seseorang dalam masyarakat, (2) peran adalah suatu konsep tentang
apa yang dapat dilakukan oleh individu, dalam masyarakat sebagai oraganisasi,
dan (3) peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.
Dalam setiap menjalankan peran sosial, pada
umumnya masyarakat menyediakan dan memberikan berbagai fasilitas (role facilities) untuk digunakan untuk
menunjang menjalankan perannya dalam masyarakat. Pemberian Fasilitas ( role facilities) dalam menunjang
suatu peran (role) itu sangat tergantung kondisi suatu kelompok masyarakat yang
bersangkutan.
Dalam kedudukan (status) serta menjalankan
peran sosial ( social role) tidak jarang terjadi apa yang disebut konflik status (
status conflict) dan konflik peran (conflict role) yang kemdian lebih populer
disebut kesejangan peran ( role distance). Hal itu terjadi karena seseorang tidak mempau menjalankan perannya
yang diberikan dan dipercayakan oleh masyarakat kepadanya, sehingga peran yang
diembannya menjadi suatu beban atau tekanan terhadap dirinya. Kegagalan
perannya dapat saja disebabkan oleh peran ganda oleh seseorang artinya
seseorang telah merangkap berbagai jabatan penting dalam masyarakat sehingga
tidak dapat melaksanakan perannya secara proposional, yang pada akhirnya ia
akan mengalami kegagalan dalam menjalankan perannya.