A.Metode
intervensi sosial pada individu pada dasarnya tekait dengan upaya memperbaiki
atau meningkatkan keberfungsian sosial individu agara individu dan keluarga tersebut dapat berperan dengan baik
baik sesuai dengan tugas sosial dan individual mereka. Keberfungsian sosial,
dalam kasus ini, secara sederhana dapat dikatakan sebagai kemampuan individu
untuk menjalankan peran sosialnya sesuai dengan harapan limgkungannya.
Benjamin, Bessant, dan Watts (1997 : 12) mendefenisikan peran sebagai
Seperangkat aturan, nilai dan aspirasi untuk hidup sebagai anggota masyarakat).
Di sini, masyarakatlah yang membentuk peran dari anggotanya. Sehingga peran
sosial yang harus dijalankan oleh individu, keluarga ataupun kelompok kecil
agar mereka dapat dikatakan sudah berfungsi secara sosial, adalah peran-peran
yang sudah ‘disepati’ ataupun menjadi aturan umum dalam masyarakat di mana
mereka berada. Maka dalam konteks seperti inilah peran sosial tersebut
didefenisikan.
Intervensi
sosial di level individual ini pada dasarnya merupakan upaya mengatasi masalah
yang oleh Menzoda (1981 : 4 ) dikatakan sebagai masalah disebabkan oleh adanya
ketidakmampuan individu atau kadangkala patalogi yang membuat seseoarang
mengalami kesulitan untuk memenuhi tuntutan lingkungannya. Dalam kasus individual,
menzoda melihat bahwa stress pada individu sering kali disebabkan oleh tekanan
dari lingkungannya dan bukan disebabkan oleh factor internal individu. Kerena
itu dalam melakukan terapi, peran lingkungan sosial menjadi peranan penting
dalam upaya penyembuhan individu yang sedang mengalami masalah keberfungsian
sosial tersebut.
Metode Terapi
dalam Casework
Zastrow
menggambarkan proses konseling melalui metode casework , dari sudut pandang
klien, dikonseptualisasikan menjadi delapan tahap, yaitu :
1.
Penyadaran
akan adanya masalah
Pada tahap ini klien yang ingin terlibat dalam relasi
dengan konselor harus meresakan adanya masalah yang sedang ia hadapi, akan
tetapi ia belum mampu mengatasi permasalahan tersebut. Bagi mereka yang tidak
merasakan bahwa dirinya mengalami ‘ masalah’ maka klien tersebut cenderung
untuk kurang termotivasi untuk mengembangkan relasi dengan konselor
Akan tetapi, dalam relasi di mana klien tidak
menyadari atau menyangkal bahwa ia mempunyai masalah, maka tugas konselor akan
semakin berat. Karena ia harus membantu klien agar ia menyadari bahwa ia
mempunyai suatu masalah. Dalam kaitan dengan kasus klien merasa tidak mempunyai
masalah konselor harus mencobah encari tahu lebih mendalam mengapa terjadi ‘
penyangkalan ‘ pada diri klien
2.
Penjalinan
Rerelasi Lebih Mendalam dengan Konselor
Pada tahap ini diharapkan sudah timbul relasi yang
lebih baik dan lebih mendalam antara konselor dengan kliennya. Klien diharapkan
sudah tumbuh kepercayaan bahwa di konselor yang ditemuinya akan dapat dan mau
membantunya.
3.
Pengembangan
Motivasi
Klien harus mampu meyakinkan dirinya bahwa dim au
untuk mengatasi masalah yang sedang ia hadapi atau mau menciptkan kondisi yang
lebih baik bagi dirinya. Di sini tugas konselor adalah mendukung dan
membakitkan klien ia mampu mengubah kondisi kejiwaan ataupun ketidakyakinannya
yang terjadi selama ini.
4.
Pengonseptualisasian
Masalah
Dalam rangka menciptkan konseling yang efektif, klien
harus mengenali bahwa ‘ permasalahan yang ia hadapi bukanlah suatu masalah yang
tidak dapat diatasi, akan tetapi ada komponen-komponen dalam permasalahan
tersebut yang masih dapat diatasi. Hal ini perlu dibantu oleh sang konselor,
karena klien biasanya cenderung menggap bahwa permasalahan yang ia hadapi itu
terlalu besar untuk dirinya, sehingga ia tidak mampu mengatasinya. Di sinilah
peran konselor untuk memilih-miliah permasalahan yang ada, dan mengajak
kliennya untuk melihat bahwa ada komponen-komponen tertentu yang masih dapat
diatasi. Hal ini tentunya bau dapat dilakukan kalau konselor mampu melakukan
wawancara yang lebih mendalam dan menganalisis permasalahan yang dihadapi klien
dengan baik
5.
Eksplorasi
Strategi Mengatasi Masalah
Tahap ini adalah tahap dimana konselor dengan kliennya
mencoba mengeksplorasi berbagai maca cara yang mungkin digunakan untuk
mengatasi masalah yang ia hadapi. Klien di sini perlu dilibatkan, karena setiap
klien adalah unique (berbeda satu dengan yang lainnya). Proses konseling ini,
biasanya akan menjadikan efektif bila klien dapat merasakan bahwa ‘ ada berbaga
cara dan tindakan yang dapat saya coba untuk mengatasi masalah yang saya hadapi
6.
Penyeleksian
Strategi Mengatasai Masalah
Tahapan ini dimana konselor dank lien mendisusikan
dari berbagai cara yang ada untuk mengatasi masalah yang dihadapi, maka cara
manakah yang akan diambil. Prinsip self-determinasion adalah salah satu prinsip
yang penting untuk digunakan dalam tahap ini, karena klien mempunyai hak untuk
memilih cara mana yang akan ia temouh untuk meningkatkan kondisi yang ada pada
dirinya. Dari sudut pandang kilen, ia harus dapat meyakinkan dirinya bahwa ‘
saya rasa cara ini akan dapat membantu saya dan saya akan mencobah memilih cara
ini’
7.
Implementasi
(Pelaksanaan) Strategi Mengatasai Masalah
Proses konseling baru akan berhasil bila klien mau
menjalankan (melaksanakan) alternative
stategi pemecahan masalah yang ia sudah tentukan, serta berkembang
komitmennya dalam menyatasi masalah yang ada. Ungkapan yang kurang lebih
menggambarkan perasaan klien, antara lain : saya rasa cara yang saya pilih ini
telah mulai menunjukkan hasil’. Bila ungkapan ini yang muncul maka konselor
dapat menjaga agar komitmen ini tetap ini tetap berlanjut. Akan tetapi, bila
ungkapan yang muncul adalah, “ saya rasa cara ini tidak ada gunannya untuk
dilanjutkan’. Maka konselor dank lien harus mencoba mencari alternative cara
pemecahan masalah yang lainnya
8.
Evaluasi
Jika perubahan yang digunakan adalah perubahan yang
permanen, maka diharapkan akan timbul perasaan pada klien seperti, “ meskipun
cara membutuhkan waktu yang cukup lama, rasanya saya cukup puas dengan cara ini
. Dan saya akan mencoba melanjutkan” , Bila perasaan ini yang timbul, maka
konselor akan dapat berharap bahwa komitmen dari klien akan tetap muncul, serta
perubahan yang terjadi akan menjadi lebih permenen. Akan tetapi, bila perasaan
yang muncul adalah : “ saya merasa bahwa metode in sedikit membantu saya, akan
tetapi saya rasa ini terlalu memakan waktu dan biaya. Saya rasa saya tidak
perlu berkorban untuk memilih cara ini” , maka perubahan yang terjadi akan
dapat bersifat sementara saja. Di sinilah peran konselor utuk untuk meyakinkan
kliennya bahwa perubahan yang ia capai adalah perubahan yang bermakna, dan ia
diharapkan untuk tetap dapat melanjutkan treatment tersebut.
B.
Intervensi
Sosial Pada Keluarga
Disamping
intervensi sosial pada individu, metode casework juga dapat diterapkan pada
level keluarga. Intervensi pada level keluarga, menurut Zastrow (2014 : 79)
dilakukan dengan melihat keluarga sebagai suatu system yang anggotanya saling
berinteraksi dan mempunyai saling ketergantungan satu dengan lainnya. Kerena
itu masalah yang dihadapi oleh individu biasanya dipengaruhi oleh dinamika yang
ada di keluarga mereka. Sebagai konsekunsinya, perubahan pada satu anggota
keluarga akan dapat memengaruhi anggota keluarga yang lain.
Zastrow (2014
: 79) mengemukakan alas an lain untuk menempatkan keluarga sebagai focus
perhatian, karena keikutsertaan (partisipasi) dari anggota keluarga biasanya
diperlukan dalam proses ‘penyembuhan’ (klien). Misalnya saja, bila seseorang
merasa bahwa kebiasaannya untuk menggunakan narkoba bukanlah suatu hal yang salah, maka anggota keluarga yang
lainnya akan dapat saling mengingatkannya bahwa ia sedang mengalami suatu
masalah. Bahkan lebih jauh lagi, anggota keluarga tersebut dapat saling
memperkuat dalam proses terapi (penyembuhan), sekurang-kurangnya memberikan
dukungan moral terhadap si pelaku penyalahgunaan narkoba tersebut. Salah satu
metode ‘ penyembuhan’ yang digunakan untuk mengatasi masalah dalam keluarga
adalah melalui terapi keluarga yang dikenal pula dengan nama konseling
keluarga. Beberapa model dasar terapi keluarga tersebut antara lain :
1.
Model-
model Psikodinamik
Freud sebagai bapak Psikoanalis dalam teorinya
mengemukakan adanya dampak dari relasi dalam keluarga terhadap pembentukan
karakter individu.
2.
Model
–Model Eksperiensial
Kelompok ini mengaplikasikan teori-teori yang
berkembang dalam terapi individual ke terapi, sehingga pemfokusan pada
perkembangan diri klien, serta penentuan pilihan sendiri menjadi focus dalam
terapi ini. Pengembangan kepekaan individum belajar untuk mengeskpresikan
emosi, belajar menjadi kedekatan dengan pasangan (suami atau istri) menjadi
bagian yang diperhatikan dalam model ini.
C.
Intervensi
Sosial Pada Kelompok Kecil
Upaya
intervensi sosial pada level kelompok kecil (small group), menjadi berkembangan
menurut Toseland dan Rivas (1984 : 8-9) dalam Benjamin, Bessant dan Watts (1997
: 5) antara lain karena :
1.
Kelompok
member kesempatan pada anggotanya untuk
saling berbagi pengalaman, berkembang dan mengejar tujuan bersama, belajar
serta mendapatkan dukungan dari dari sesame anggota kelompok
2.
Kelompok
menawarkan kesempatan ‘merapikan’ isu-isu yang terkait dengan perbedaan aliran
politik dan hubungan sesame anggota kelompok, selain memberikan kesempatan
untuk mengembangkan dan mencoba berbagai keterampilan yang b aru
3.
Kadangkala
kelompok dapat juga membantu mengurangi isolasi sosial dan kesepian yang
terjadi pada anggota kelompok dengan cara meningkatkan kesempatan pada anggota
kelompok tersebut bertemu dengan anggota masyarakat yang lain yang belum pernah
dihubungi selama ini
4.
Kelompok
dapat menjadi sumber perubahan sosial yang sangat kuat dan bermakna, yang akan
dapat membantu anggotanya menentang ‘pengelompokan’ rasial dan seksual.
Kelompok akan dapat memberikan ‘panutan’ dan sumber daya yang dapat digunakan
untuk mengatasi eksploitasi sosial maupun tekanan politik yang terjadi selama
ini
5.
Kelompok
dapat menjadi arena utama untuk mengembangkan gerakan sosial dan politik
6.
Kelompok
dapat membantu masyarakat untuk menghubungkan identitas personalnya dengan
gerakan sosial yang lebih besar