Rabu, 18 November 2015

PERANAN SOSIOLOGI



         Setelah membaca sub bab  pertama dan ke dua, membahas tentang selintas sejarah perkembangan sosiologi di Indonesia dan peran para perintis sosiologi, kemudian pertanyaan yang mungkin muncul pada sebagian pembaca adalah apa manfaat mempelajari ilmu sosiologi. Pertanyaan seperti ini adalah wajar saja, karena setiap orang mempelajari suatu ilmu paling tidak ingin mendapatkan sesuatu manfaat dari apa yang dipelajari. Sebelum menjawab pertanyaan yang akan dijawab sendiri, terlebih dahulu dijelaskan status ilmu sosiologi itu. Pada intinya suatu ilmu dapat dikelompokkan sebagai ilmu murni (pure science) mempelajari ilmu untuk pengembangan suatu ilmu, dan  ilmu terapan (applied science) mempelajari suatu ilmu dan dipergunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Seperti contoh yang dikemukakan oleh Horton dan Hunt (1999) sebagai berikut. Bahwa seorang ahli sosiologi melakukan penelitian tentang struktur sosial di perkampungan miskin dan kotor. Dalam penelitian itu akan dideskripsikan berbagai hal yang terkait dengan masalah struktus sosial dan tentang kehidupan orang misskin,  maka peneliti tersebut  bekerja sebagai ilmuan murni, tetapi manakala peneliti itu menjelaskan bagaimana mencegah atau  mencegah kejahatan  di daerah miskin dan kotor, maka ia tampilkan ilmu sosiologi sebagai ilmu terapan. Contoh ini  memberi makna bahwa ilmu sosiologi dapat tampil sebagai ilmu murni dan dapat pula sebagai ilmu terapan. 
        Sesungguhnya dalam kenyataan setiap orang dapat mengetahui tentang ilmu sosiologi, setiap orang berbicara tentang masalah sosial yang ia hadapi atau yang dijadapi oleh masyarakat, karena ia selain sebagai pelaku dari ilmu sosiologi itu, dan ia pula menciptakan masalah sosial dan ia pula memcoba memecahkannya. Bila ditanya tentang masalah sosial yang dihadapinya maka ia akan lancar menjelaskannya, bagaimna pula ia mencoba memecahkan, dan tidak sedikit yang berhasil tetapi ada pula  yang belum berhasil.  Hal ini dapat dibuktikan bahwa banyak artikel yang bertaburan pada artikel ilmiah ataupun majalah umum banyak ditampilkan masalah sosial/sosiologi yang penulisnya bukan orang sosiologi. Dalam konteks itu penulis sebagai seorang yang perna belajar ilmu sosiologi, ikut respon terhadap situasi yang demikian, karena ternyata ilmu sosiologi banyak diminati bahkan banyak ahli ilmu sosiologi terapan dimasyarakat dan akhirnya ilmu sosiologi  menjadi milik dan dicintai oleh masyarakat luas. Kita yang sudah terlanjur menempatkan diri sebagai sosiolog jangan perna merasa diitervensi, tetapi justru sebaliknya bahwa kita semakin banyak punya mitra, bersama-sama memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan anda, kita tetap profesional.     
       Horton dan Hunt (1999), Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (2004) menyebut beberapa profesi umum yang dimiliki oleh para sosiolog adalah sebagai berikut, (1) sebagai ahli riset, (2) sebagai konsultan kebijakan  pembangunan, (3) sebagai teknisi, (4) sebagai pendidik dan (5) sebagai pekerja sosial.
         Tidak sedikit para sosiolog yang terkenal dalam bidang riset, baik riset murni maupun riset terapan dan menghasilkan berbagai temuan yang sangat berguna bagi kepentingan pembangunan masyarakat. Dari pengalaman mengadakan berbagai riset lapangan, maka tidak sedikit para sosiolog yang digunakan jasanya sebagai konsultan dalam berbagai bidang pembangunan. Sesuai namanya ilmu yang mempelajari tentang selukbeluk kemasyarakatan, maka para sosiolog juga banyak yang terlibat dalam bidang lembaga sosial masyarakat yang membantu masyarakat dalam berbagai bidang pembangunan masyarakat. Dan profesi lain yang tak kalah penting adalah banyak para sosiolog tampil dan terjun sebagai pendidik diberbagai lembaga pendidikan, baik lembaga pendidikan formal maupun lembaga pendidikan non fomal lainnya.
      Dalam kenyataannya banyak pekerjaan profesional dalam bidang  ilmu sosial dapat dilakukan oleh orang atau kelompok lain. Hal yang demikian adalah syah-syah saya, sebutlah tidak jarang guru-guru yang mengajar mata pelajaran sosiologi di sekolah-sekolah (SMU), sesungguhnya tidak selalu dengan latar disiplin ilmu sosiologi.  Memang pada umumnya orang berpendapat bahwa ilmu sosiologi itu mudah dipelajari, kemudian mudah diajarkan kembali.  Pendapat ini tentu  tidak seluruhnya salah, akan tetapi perlu disadari, bahwa sesungguhnya sebaiknya kita mengajarkan apa yang kita miliki, dan bukan mengajarkan apa  yang kita ketahui    

Pandangan Emile Durkheim Dan Max Weber



 b.Emile Durkheim (1858- 1917).
        Lahir di Epinal  bagian Timur Prancis di lingkungan keluarga Yahudi.  Beberapa karya penting diantaranya, The Division of Labor in Society yang mengkaji tentang pembagian kerja dalam masyarakat industri. Di bidang industri modern terjadi penggunaan mesin serta konsentrasi modal dan tenaga kerja yang mengakibatkan pembagian kerja dalam bentuk spesialisasi. Tujuan utama dari kajian pembagian kerja ini adalah untuk memahami fungsi pembagian kerja serta memahami faktor latar penyebabnya  
       Menurut pandangan Emile Durkheim bahwa setiap masyarakat manusia senantiasa memerlukan solidaritas. Solidaritas akan mewarnai setiap kehidupan manusia. Ia membagi solidaritas menjadi 2(dua) tipe yaitu, solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik terdapat pada kelompok masyarakat yang sederhana yang disebut ’’segmenatal’’ Pada kehidupan kelompok masyarakat yang demikian belum terdapat pembagian kerja yang tegas, sehinga apa yang dilakukan seseorang dapat pula dilakukan oleh orang lain. Dalam konteks yang demikian tidak terdapat saling ketergantungan antara masyarakat dan kelompok yang berbeda, karena setiap orang dapat memenuhi kebutahannya sendiri. Tipe solidaritas yang demikian didasarkan atas kepercayaan setiakawan yang oleh Durkheim disebut Conscience collective yang diterjamahkan oleh Abdullah dan v.d Leeden menjadi hati nurani kolektif, yaitu suatu sistem kepercayaan dan perasaan yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat.   
       Menurut Emile Durkheim, bahwa salah satu bidang yang harus dipelajari dalam sosiologi adalah fakta sosial (social fact), yang berbicara tentang hal cara berpikir, bertindak, merasakan dan pengendalian terhadap diri sendiri, atau individu lain, didalamnya termasuk hukum, moral, kepercayaan, adat-istiadat, cara berpakaian, kaidah ekonomi dan lain-lain ( Abdulahdan v.d. Leeden 1986). Fakta sosial menurut Durkheim terdiri dari 2(dua) macam yaitu
1. Dalam bentuk material, yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobesrvasi. Fakta sosial berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata (external world), misalnya norma hukum, yang mudah dipahami. Norma hukum jelas merupakan sesuatu yang nyata ada dan berperan, berpengaruh terhadap kehidupan manusia, yang mudah dipahami, tetapi yang  menjadi soal adalah fakta sosial non material.
 2. Dalam bentuk non material, yaitu  fakta sosial jenis ini merupakan fenomena yang bersifat inter subyective yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, contoh egoisme, altruisme dan opini. Wariner dalam Ritzer (1980), lebih memusatkan pada perhatian kepada fakta sosial yang terkait dengan  kehidupan kelompok masyarakat, karena hal itulah yang terpenting.
   Menurut Warriner terdapat 4(empat) kriteria yang dipakainya untuk menyatakan    kehidupan kelompok sebagai barang sesuatu yang nyata (reality)
 1. Nominalist position, artinya kelompok itu bukanlah barang sesuatu yang sungguh-sungguh ada secara riil, tetapi merupakan suatu terminologi atau suatu pengertian yang digunakan untuk menunjukkan kepada kelompok individu.
      2. Interaksionisme, bahwa antara individu dan kelompok ke duanya tidak dapat dipisahkan, tidak adan individu tanpa kelompok dan sebaliknya tidak ada  kelompok tanpa individu, sebab ke duanya saling berinteraksi.
3. Neo nominalisme, bahwa kelompok menunjukkan sesuatu yang nyata-nyata ada (obyektive reality)., tetapi juga mengakui kelompok itu kurang riil dibandingkan dengan kelompok.
  4. Realisme, konsep berpegang kepada proposisi sebagai berikut, (1) kelompok sama riilnya dengan individu atau perorangan, (2) keduanya abstrak, untuk kepentingan unit analisis, dan (c) kelompok dipahami dan daplikasikan khusus dalam istilah untuk menerangkan proses sosial   
         
c.Max Weber (1864 – 1920)

          Lahir di Jerman pada tahun 1864, ia  mulanya adalah seorang ahli hukum,  mencapai gelar doktor dan profesor dalam bidang ilmu ekonomi, tetapi kemudian ia menekuni ilmu sosiologi dengan menampilkan karya yang mengagumkan dalam bidang sosiologi. Salah satu  buku yang sangat terkenal berjudul ‘’The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904), dan memilih rasionalitas sebagai titik perhatian utama. Buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism mengisahkan tentang keterkaitan antara Etika Protestan dan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat. Bahwa dunia adalah tempat kemakmuran yang hanya dicapai oleh kerja keras, disiplin dan hidup hemat. Menurut hasil penelitiannya bahwa ketika itu  negara-negara penganut aliran Protestan hidupnya jauh lebih makmur dibandingkan dengan kelompok yang lain. Karena itulah bahawa kemajuan secara ekonomi yang selalu  identik dengan modernisasi, modernisasi identik dengan westernisasi dan westernisasi identik pula dengan Kristenisasi
        Weber memilih rasionalitas sebagai titik perhatian utama dalam kajian-kajian teorinya. Ia melihat perkembangan dunia Barat yang serba modern sebagai sesuatu hal yang menyangkut peningkatan yang mantap dalam bentuk rasionalitas. Peningkatan ini dalam bentuk tindakan ekonomi individu setiap hari dan dalam bentuk organisasi sosial,  dan juga dalam bentuk fenomena kehidupan sosial yang lain.    
     Sumbangan Weber dalam ilmu sosiologi adalah kajian tentang konsep dasar sosiologi (1964). Dalam urainnya menyebutkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang memahami tindakan sosial. Tulisan ini kemudian dikembangkan untuk membahas masalah interaksi sosial dan tema ini akan dibahas secara khuusus pada bab tersendiri