Minggu, 18 Februari 2018

RASKIN DAN GIZI BURUK DI ASMAT PROVINSI PAPUA



RASKIN DAN GIZI BURUK DI ASMAT PROVINSI PAPUA
OLEH
  LA MOCHTAR UNU, S.Sos.M.Si.

ABSTRAK
Pertanian  masyarakat di Papua “Pertanian Bapak” dan “Makanan Mama” Pola ini berlangsung secara turun-temurun tetapi dengan perubahan tatanan kehidupan sosial,  budaya komsumsi RASKIN, Industri Makanan Siap Saji (Fast Food), membuat ketergantungan masyarakat,  rendah etos kerja, Kurang Inovatif  dan mengikisnya  kearifan lokal di Papua.

Key : Raskin, Pertanian Bapak, Makanan Mama, Gizi Buruk.

Semenjak Otonomi Khusus (OTSUS) Papua bergulir tahun 2001 berbagai Wilayah Tanah Papua terutama di Kawasan pegunungan tinggi diindikasikan rawan pangan, Januari 2018, hangat diberitakan di media massa internasional, nasional kasus gizi buruk. Wabah campak dan gizi buruk yang menimbulkan korban jiwa, khususnya balita, kembali terjadi di wilayah pedalaman Papua. Setelah di Kabupaten Asmat yang memunculkan status kejadian luar biasa (KLB) menelan korban 71 Korban Jiwa anak-anak (Kemenkes, 2018),  kini dua penyakit tersebut juga terjadi di Kabupaten Pegunu  ngan Bintang (Pegubin) Papua. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua hingga saat ini korban meninggal dunia mencapai 27 orang, terdiri dari 4 dewasa dan 23 balita. Penyebabnya diduga wabah penyakit campak dan kekurangan gizi, serta terjadi di Kampung Pedam, Distrik Okbab, Kabupaten Pegunungan Bintang.

Provinsi Papua telah menelan korban jiwa. Berbagai komentar dan tanggapan bermunculan namun belum ditemukan akar masalah apalagi solusi yang lengkap. Pada hal bencana yang sama di pernah terjadi di Yahukimo sudah terjadi pada tahun 2005 dan 2006. Beberapa upaya sudah dilakukan diantaranya dengan pemberian bibit ubi jalar varietas unggul oleh pemerintah.  
Mengapa bencana terulang kembali Provinsi Papua ?
Penyebab Kurang  Gizi  Asmat mulai terungkap Masalah kekurang gizi buruk di Distrik Agats, Papua masih berlanjut. Guru besar Ilmu Gizi Universitas Hasahuddin Masakar, Nurpudji Taslim, membeberkan sejumlah masalah penyebab kekurangan gizi di distrik Agats

Masalah utama kurang gizi karena masyarakat asli sudah tidak memproduksi sagu. Karena ada pembagian beras raskin yang mereka  tunggu dan dapat setiap bulan,’ kata Nurpudji melalui keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Sabtu 10 Februari 2018, memang faktor determinan m  empengaruhi kasus gizi buruk di asmat ada beberapa indikator; a).Sarana dan Prasana kesehatan, b.daerah georafis yang sulit c.Sanitasi yang tidak sehat, d).kurangnya pengetahuan tentang gizi sehat dan berimbang, namun dari pernyataan Nurpudji kalau dibuat dalam rengking masalah, masalah-masalah yang lain bukanlah masalah yang dominan alias bukan menempati posisi utama.

Masalah yang menempati posisi pertama terletak ketergantungan masyarakat akan di RASKIN, masyarakat  sudah dibuat ketergantungan, teori ketergantungan bukan teori kemandiri semangat etos kerja oleh David Mclilen sedikit demi sedikit sudah mulai hilang, mereka beranggapan sudah ada jatah beras tiap bulan (RASKIN). Fenomena Raskin ini bukan saja di Asmat diberbagai daerah terlihat mentalitas kerja masyarakat itu sudah kurang misalnya di Wamena dulu sebelum Raskin masuk kekampung-kampung Wamena sebagai salah satu lumbung sayur mayur seperti : sayur kol, vortel yang besar-besar, dalam jumlah yang banyak  dan segar-segar merupakan memasok bagi kebutuhan sayur PT.Freport setelah ada OTSUS, RASKIN, di tambah lagi dana Kampung masyarakat sudah mulai malas kerja kerena beranggapan untuk apa kerja kita sudah punya uang dan beras yang di dapat tiap bulan, Pertanyaan :
       1.      Kalau bantuan itu tepat sasaran?
       2.      Kalau bantuan itu tepat waktu?    
       3.      Kalau bantuan itu distribusi merata?
       4.      Kalau bantuan itu………..?   
Bisa jadi keterlambatan menyaluran RASKIN berefek buruk bagi masyarakat,  bayangkan kita terlambat makan 3-4 Jam saja bisa panas dingin, gemetar tubuh kita, bagaimana kalau orang tidak makan berhari-hari bahkan berbulan-bulan karena tunggu RASKIN tetergantungan dengan Raskin tidak mau lagi memproduksi Sagu dan cari ikan dana  u/laut/rawah.

Pola pikir diatas menurut saya harus di luruskan pemerintah segera melakukan MONEV terkait dengan bantuan-bantuan yang diberikan, saya rasa dulu tidak ada Raskin masyarakat bisa hidup .….., bukankah tuhan yang maha kasih sudah menciptakan manusia dengan krateristik sesuai dengan pola-pola hidupnya dan sediakan Sumber Daya Alam (SDA) di Asmat dengan ikan yang berlimbah dan pohon sagu, pegunungan dengan tanahnya yang subur serta kali-kali yang menyediakan ikan, ini merupakan lumbung lokal.

Masyarakat dipedalaman - pedalaman  Papua bisa bertahan hidup melalui cara bertani yang unik atau sering disebut kearifan lokal (local wisdom). Pengetahuan dan teknologi yang diturunkan oleh nenek moyang tersebut sangat diyakini “menyuburkan” kebun mereka.
  Ada tiga kearifan lokal pertanian yang ditemukan di masyarakat  pegunungan Papua sebagai instrument ketahanan pangan yakni :
Permata          : Teknologi penentuan musim tanam.
Kedua             : Pola tanam campuran (multicop) dalam satu hamparan lahan. Masing-masing
  komoditi ditanam secara berurutan dengan umur tanam hingga panen.
Kearifan ketiga : Pola penen tumbuh, yaitu memanen ubi jalar/petatas/hipere sesuai dengan
kebutuhan hari itu dan ditumbuhkan kembali umbi/akar bekas panen. Ubi jalar bagi masyarakat Papua merupakan bahan makanan pokok selain sagu.Memanen dengan cara menggali umbi dari tanah memerlukan keahliahan tertentu sehingga bisa berproduksi sampai dua tahun bahkan tiga tahun.

Gagalnya masyarakat Papua khsususnya masyarakat pegunungan mengadopsi teknologi anjuran bukan disebabkan mereka konservatif, tetapi lebih dkarenakan rancang-bangun teknologi anjuran yang bersifat top-down – sistem komando dari atas kurang memperhatikan partisipasi masyarakat, sehingga tidak sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi dan ekologi masyarakat Papua. Dampak yang sedang dirasakan, “pertanian bapak”dan makanan “mama” yang diturunkan oleh nenek moyang mereka tergantikan oleh makanan siap saji (fast food) seperti mie instan yang sudah tersimpan di para-para dapur ibu-ibu di pelosok kampung. 

Gangguan Raskin, petani Papua tidak mengenal kegiatan pascapanen terhadap produksi pertaniannya. Mereka penen hanya sesuai kebutuhan untuk makan, sisanya dijual, makanan ternak, dan untuk bibit, mereka menjual produk pertanian bila ada pemesan dan sangat membutuhkan uang.
Namun sekarang generasi muda atau kaum terpelajar yang tinggal di kota lebih senang makan nasi dari beras, Setiap keluarga biasa menyiapkan beras dan ubi untuk persediaan pesta.  Makanan siap saji (fast food) seperti seperti dalam skala kecil supermi dll, dalam skala besar McDonaldisasi, Burger, Kopi McCafe dll. Waralaba restoran global ini sudah ada dimana-mana. Sudah ada satu dekat denganmu, dan sekarang ada satu lagi yang sedang dibangun bahkan lebih dekat. Sebentar lagi, jika Mcdonald meluas dengan cepat seperti sekarang ini, maka dia akan masuk dirumah anda dengan perkembangan IPTEK  tinggal kelik Online Pesan langsung diantar  kerumah-rumah. Bergesernya pola konsumsi dari alamiah menjadi modern mempengaruhi gaya hidup, lihat saja di Kota Jayapura sudah menjamur Waralaba kuliner alah globalisasi. Pertemuan semi rapat sampai dengan rapat formal, seminar, konfensi, kongres dll jarang kita temukan makan-makanan khas Papua yang disajikan, adapun kalau disajikan banyak yang memilih makanan modern ketimbang makanan alamiah alias tradisional fenomena ini kita dapat rasakan dan melihat sendiri nanti kalau sudah vonis dokter gula darah tinggi, kolestrol maka yang bersangkutan berahli pada makanan yang alamiah (Tradisional). Budaya bukan saja tari-tarian saja, makanan juga bagian dari budaya atau identitas yang harus selalu di perkenalkan, kalau bukan kita siapa lagi? kalau bukan sekarang kapan lagi?
Beras apalagi sudah ada program beras raskinmu (beras untuk keluarga miskin dan murah) dari Pemerintah dengan harga Rp.1000 perkilo gram, beras menjadi primadona. Tak ayal, telah terjadi perubahan pola konsumsi dan ritme bekerja di ladang.

Lebih memprihatinkan bertepatan kalau terjadi perang suku yang membuat mereka takut ke luar rumah. Ladang luput dari penjagaan, babi masuk merusak tanaman. Dari sisi awal kerawanan pangan terjadi. Dampak jangka panjang adalah terkikisnya nilai-nilai sosial berupa etos kerja dan inovasi petani.

Keberadaan kearifan  lokal masyarakat Papua diperkuat oleh Susanto dan Suparlan (1989) bahwa ketahanan pangan di suatu daerah terutama pedalaman lebih disebabkan oleh adanya potensi ketahanan sosial budaya pada kehidupan masyarakat tradisional atau etnik tertentu. Ketahanan sosial budaya dalam hal pangan pokok diartikan terciptanya kondisi sosial dan budaya dalam hal pangan pokok diartikan terciptanya kondisi sosial dan   budaya masyarakat yang stabil dalam proses kehidupan rutin sehari-hari. Kebiasaan pangan (foot habits) yang menyangkut pangan pokok relatif tidak tergoyahkan walaupun terjadi goncangan-goncangan ekonomi dan politik.

Dari uraian di atas, masyarakat Papua secara turun-temurun telah memiliki “ pertanian Bapak dan “Makanan Mama” yang sudah terpolakan sejak lama. Apabila budaya pertanian tersebut ditinggalkan maka tidak menutup kemungkinan terjadi kerawanan pangan, kelaparan, hingga menyebabkan kematian penduduk. Kuncinya adalah mengembalikan atau adaptasi budaya pertanian Papua yang sudah terenggut modernisasi.
Penjalasan tentang Makanan Mama dan Pertanian Bapak akan dijelaskan tersendiri pada uraian dibawah.

Ketergantungan Pangan
            Ketergantungan hingga 60 persen pasokan makanan hidup pokok masyarakat seperti beras, sayur-sayuran, telur, daging dan serangan makanan siap saji (fast foot) dari luar Papua mengancam ketahanan makanan lokal. Di sisi lain 40 persen produk pangan lokal berfluktuasi ketersediaannya dan belum mampu mencukupi keutuhan lokal. Pergeseran pola makanan tradisional atau dikenal dengan pola makanan mama ke makanan modern seperti nasi dan serbuan makanan siap saji ikut mempercepat kerawanan pangan di Papua khususnya di wilayah pemekaran baru yang belum mengambil langka strategis untuk menghadapi fenomena globalisasi foot. 

            Dalam jangka panjang rawan pangan akan menyebabkan instabilitas sosial, ekonomi dan politik sedangkan jangka pendek adalah kelaparan dan kemiskinan . Hal ini sangat mungkin terjadi di tengah  gejolak politik yang mengarah ke disintegrasi bangsa akhir-akhir ini.

            Kelaparan terjadi bila produksi pangan lokal terhenti akibat turunya aktivitas pertanian seperti yang pernah dialami oleh masyarakat Yohukimo dan dataran tinggi lainnya di Papua. Sedangkan dampak laten kelangkaan pangan adalah kemiskinan karena 80 persen penduduk Papua menggantungkan hidupnya dari usaha pertanian dan tinggal di perkampungan, kemiskinan di Papua mencapai angka 30-40 persen dari 2,3 juta jumlah penduduknya. Kelaparan dan kemiskinan akan mengakibatkan lost generation (hilangnya satu generasi) yang akibatnya hilangnya suatu peradaban di Papua.

Masih ada “Pertanian Bapak” dan Makanan “Mama”
Pertanian “Bapak” adalah kegiatan bercorak tanam dan berternak yang dilakukan oleh masyarakat lokal Papua yang diperoleh dari proses pembelajaran secara turun-temurun hingga kini masih digunakan dalam rangka mempertahankan sumber makanan pokok dan ekonomi orang Papua. Karena masyarakat Papua menganut sistem keluarga besar Patrineal (otoritas pada laki-laki) maka dalam aktivitas pertanian didominasi oleh kaum bapak. Dari sinilah defenisi pertanian bapak tercetus berbeda dengan pertanian konvesional yang kita saksikan di luar masyarakat Papua seperti menanaman pada di sawa.

             Seperti dijelaskan diatas model pertanian bapak dan makanan mama telah mampu mempertahankan ketersediaan pangan lokal di Papua. Hasil pendataan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua pada tahun 2017 produksi uji jalar mencapai 101.710  ton, dikonsumsi hanya 31,125 ton. Hal ini menunjukkan kebutuhan uji jalar masyarakat Papua tercukupi oleh lokal dan bahkan berlebih. Kelebihan Produksi tersebut menjadi suatu tantangan untuk memanfaatkan ubi jalar menjadi aneka produk olahan yang memiliki daya saing tinggi.

            Namun, empat tahun terakhir setelah program raskinmu yaitu beras untuk keluarga miskin dan murah masuk kampung, terjadi perubahan pola konsumsi dan berkurangnya kegiatan di ladang. Di satu sisi inovasi atau pengetahuan teknologi  pertanian yang diberikan kepada petani lokal tersebut belum dipahami dengan mapan, program sering terhenti ditengah jalan dan tenaga penyuluh pun dengan alasan sarana yang sangat minim enggan turun ke lapangan. Saat itulah ladang masyarakat ditinggalkan, rawan pangan terjadi di Papua.

            Defenisi makanan mama adalah jenis makanan khas atau tradisional suatu daerah seperti Papua yang dibuat dan dikonsumsi secara turun-temurun oleh suatu kelompok masyarakat. Karena masalah makanan atau urusan dapur atau pekerjaan ibu atau mama-mama maka disinilah asal usul istilah “makanan mama” tersebut.

            Kita mengenal makanan mama seperti : Papeda, berapan, ubi atau keladi bakar, sayur gedi, buah merah, ikan asar dan sebaginya yang belum sempat teridentifikasi. Pertanyanya adalah sejauhmana keberadaan makanan mama tersebut, apakah masih menjadi konsumsi utama masyarakat kampung atau bahkan di kota ada grai seperti swalayan dan warung menjual makanan khas Papua?

            Ekstensi  makanan mama tersebut akan mempengaruhi ketahanan pangan di Papua karena prinsip ekonom Produksi dipengaruhi oleh permintaan (konsumsi) komoditi itu sendiri. Bagaimana mungkin petani kita mau menanam ubi jalar kalau permintaan atau yang  memakan ubi  jalar itu tidak ada.  Gejala  ini sudah nampak dipasar  jenis komunitas makanan mama tidak laku dan mulai langka. Masyarakat lebih senang dan terpandang membeli atau belanja makanan siap saji (fast food) seperti mie instan, bumbu masak saset, minuman botol atau ikan keleng, minuman botol kaleng berenergi di  restoran, cafĂ© atau swalayan.

            Komsumsi makanan siap saji mie instan dan makanan keleng sudah merambah ke kampung-kampung, bahkan mie instan segala merk sudah menjadi bahan   makanan yang selalu disiapkan di para-para dapur mama-mama kita di Kampung-Kampung Papua. Begitu dahsyatnya serbuan makanan seperti beras dan fast food yang sesungguhnya menguntungkan produsen luar  dan sebaliknya mengancam ketahanan pangan lokal Papua.

            Boleh jadi di masa akan datang  generasi Papua tidak tahu lagi makan khas Papua seperti : Papeda ubi, keladi  bakar. Padahal makanan mama tersebut memberi makna filofori yang saat bernilai dalam kehidupan keluarga misalnya untuk perdamaian, kebersamaan d  an gotong – royong. Barape  n (menggunakan ubi-ubian menggunakan panas batu) adalah prosesi mengajikan makanan mama dalam rangka perdamaian perang atau sengketa adat.

            Dari segi keseimbangan gizi dan kehalalan makanan modern / fast food luput dari perhatian akal sehat kita , yang penting  keluar di iklan TV langsung di komsumsi karena kita tidak banyak tahu atau tidak mau tahu dibuat dari bahan dasar dan zat pengawet apa. Sekarang ini adalah era di mana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatnya namun karena gaya (hidup), demi sebuah cerita yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat Televisi, tayangan sinetron, acara infotainment, ajeng kompetisi para calon bintang, gaya hidup selebriti, dsb. Yang ditawarkan iklan bukanlah nilai suatu barang, tetapi citra dan gaya bagi pemakainya tidak penting apakah barang itu berguna apa atau tidak, diperlukan atau tidak oleh konsumen. Karena itu yang kita konsumsi adalah makna yang dilekatkan pada barang itu, sehingga kita tidak pernah mampu memenuhi kebutuhan kita. Kita menjadi tak pernah terpuaskan. Kita lalu menjadi pemboros agung, mengonsumsi tanpa henti, rakus dan serahkan. Konsumsi yang kita hasilkan justru menghasilkan ketidak puasan kita menjadi teralienasi karena perilaku konsumsi kita. Pada gilirannya ini menghasilkan kesadaran palsu. Seakan-akan terpuaskan padahal kekurangan, seakan-akan mampu pada hal miskin.

            Kita tidak sedang hidup dalam masyarakat bercukupan tapi dalam masyarakat pertumbuhan. namanya Ideologi pertumbuhan selalu menghasilkan dua hal, kemakmuran dan kemiskinan, Makmur bagi yang diuntungkan (Kapitalisme) dan miskin bagi yang terpinggirkan. Kenyataannya, pertumbuhan adalah alat untuk membatasi ruang gerak orang-orang miskin. Kerena itulah ideology sengaja dilanggengkan untuk menjaga sistem. Pertumbuhan adalah fungsi kemiskinan, kata Baudrillard, pertentangan yang ada di dalamnya mengarah pada kemiskinan psikologis dan kefakiran sistematis karena “kebutuhan” akan selalu melampaui produksi barang.  Akibat kita sering mengkomsumsi makanan tidak bergizi dan baik. Maka jangan heran banyak bayi lahir dalam kondisi fisik dan mental tidak normal yang di duga mengkomsumsi makanan yang sudah tercemar zat-zat adiktif  mengganggu keseimbangan fisiologi embrio atau janin.

            Makanan mama yang dimasak dan diracik sendiri oleh mama kita sendiri sangat jelas bahan dasar, bumbu, kebersihannya karena sejak nenek moyang mereka tidak pernah mengalami hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Ketika kita melupakan makanan mama, sebenarnya kita telah membuat diri kita tercerabut dari akar budaya sendiri. Sebab apa yang kita terapkan sekarang dengan mengkonsumsi makanan modern hasil meniru kebudayaan orang lain.          

SUMBER RUJUKAN :
Sumber Buku :
George Ritzer, 2014. “Mcdonaldisasi Masyarakat”, Penerbit Pustaka Belajar
Jean Baudrillard 2015. “Masyarakat Konsumsi” Penerbit, Kreasi Wanaca
Mulyadi, 2014. Budaya Pertanian Papua “Perubahan Sosial dan Strategi Pemberdayaan Masyarakat Arfak, Penerbit Kartika Media Yogyakarta.

Sumber Internet :