RASKIN DAN GIZI BURUK DI ASMAT
PROVINSI PAPUA
OLEH
LA MOCHTAR UNU, S.Sos.M.Si.
ABSTRAK
Pertanian
masyarakat di Papua “Pertanian Bapak” dan “Makanan Mama” Pola ini
berlangsung secara turun-temurun tetapi dengan perubahan tatanan kehidupan sosial,
budaya komsumsi RASKIN, Industri Makanan
Siap Saji (Fast Food), membuat ketergantungan masyarakat, rendah etos kerja, Kurang Inovatif dan mengikisnya kearifan lokal di Papua.
Key : Raskin, Pertanian Bapak, Makanan Mama, Gizi Buruk.
Semenjak Otonomi Khusus (OTSUS) Papua
bergulir tahun 2001 berbagai Wilayah Tanah Papua terutama di Kawasan pegunungan
tinggi diindikasikan rawan pangan, Januari 2018, hangat diberitakan di media
massa internasional, nasional kasus gizi buruk. Wabah
campak dan gizi buruk yang menimbulkan korban jiwa, khususnya balita, kembali
terjadi di wilayah pedalaman Papua. Setelah di Kabupaten Asmat yang memunculkan
status kejadian luar biasa (KLB) menelan korban 71 Korban Jiwa anak-anak
(Kemenkes, 2018), kini dua penyakit
tersebut juga terjadi di Kabupaten Pegunu
ngan Bintang (Pegubin) Papua. Berdasarkan data
yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua hingga saat ini korban
meninggal dunia mencapai 27 orang, terdiri dari 4 dewasa dan 23 balita.
Penyebabnya diduga wabah penyakit campak dan kekurangan gizi, serta terjadi di
Kampung Pedam, Distrik Okbab, Kabupaten Pegunungan Bintang.
Provinsi Papua telah menelan korban jiwa. Berbagai komentar dan tanggapan
bermunculan namun belum ditemukan akar masalah apalagi solusi yang lengkap.
Pada hal bencana yang sama di pernah terjadi di Yahukimo sudah terjadi pada
tahun 2005 dan 2006. Beberapa upaya sudah dilakukan diantaranya dengan
pemberian bibit ubi jalar varietas unggul oleh pemerintah.
Mengapa
bencana terulang kembali Provinsi Papua ?
Penyebab
Kurang Gizi Asmat mulai terungkap Masalah kekurang gizi
buruk di Distrik Agats, Papua masih berlanjut. Guru besar Ilmu Gizi Universitas
Hasahuddin Masakar, Nurpudji Taslim, membeberkan sejumlah masalah penyebab
kekurangan gizi di distrik Agats
Masalah utama kurang gizi karena masyarakat asli sudah tidak
memproduksi sagu. Karena ada pembagian beras raskin yang mereka tunggu dan dapat setiap bulan,’ kata Nurpudji melalui keterangan
tertulis yang diterima Medcom.id, Sabtu 10 Februari 2018, memang faktor determinan
m empengaruhi kasus gizi
buruk di asmat ada beberapa indikator; a).Sarana dan Prasana kesehatan,
b.daerah georafis yang sulit c.Sanitasi yang tidak sehat, d).kurangnya
pengetahuan tentang gizi sehat dan berimbang, namun dari pernyataan Nurpudji
kalau dibuat dalam rengking masalah, masalah-masalah yang lain bukanlah masalah
yang dominan alias bukan menempati posisi utama.
Masalah yang menempati posisi pertama terletak ketergantungan masyarakat
akan di RASKIN, masyarakat sudah dibuat
ketergantungan, teori ketergantungan bukan teori kemandiri semangat etos kerja
oleh David Mclilen sedikit demi sedikit sudah mulai hilang, mereka beranggapan
sudah ada jatah beras tiap bulan (RASKIN). Fenomena Raskin ini bukan saja di
Asmat diberbagai daerah terlihat mentalitas kerja masyarakat itu sudah kurang
misalnya di Wamena dulu sebelum Raskin masuk kekampung-kampung Wamena sebagai
salah satu lumbung sayur mayur seperti : sayur kol, vortel yang besar-besar,
dalam jumlah yang banyak dan segar-segar
merupakan memasok bagi kebutuhan sayur PT.Freport setelah ada OTSUS, RASKIN, di
tambah lagi dana Kampung masyarakat sudah mulai malas kerja kerena beranggapan
untuk apa kerja kita sudah punya uang dan beras yang di dapat tiap bulan, Pertanyaan
:
1.
Kalau
bantuan itu tepat sasaran?
2.
Kalau
bantuan itu tepat waktu?
3.
Kalau
bantuan itu distribusi merata?
4.
Kalau
bantuan itu………..?
Bisa jadi keterlambatan menyaluran RASKIN berefek
buruk bagi masyarakat, bayangkan kita
terlambat makan 3-4 Jam saja bisa panas dingin, gemetar tubuh kita, bagaimana
kalau orang tidak makan berhari-hari bahkan berbulan-bulan karena tunggu RASKIN
tetergantungan dengan Raskin tidak mau lagi memproduksi Sagu dan cari ikan dana
u/laut/rawah.
Pola pikir diatas menurut saya harus di luruskan pemerintah segera
melakukan MONEV terkait dengan bantuan-bantuan yang diberikan, saya rasa dulu
tidak ada Raskin masyarakat bisa hidup .….., bukankah tuhan yang maha kasih
sudah menciptakan manusia dengan krateristik sesuai dengan pola-pola hidupnya dan
sediakan Sumber Daya Alam (SDA) di Asmat dengan ikan yang berlimbah dan pohon
sagu, pegunungan dengan tanahnya yang subur serta kali-kali yang menyediakan
ikan, ini merupakan lumbung lokal.
Masyarakat dipedalaman - pedalaman Papua bisa bertahan hidup melalui cara bertani
yang unik atau sering disebut kearifan lokal (local wisdom). Pengetahuan dan
teknologi yang diturunkan oleh nenek moyang tersebut sangat diyakini
“menyuburkan” kebun mereka.
Ada tiga kearifan lokal pertanian yang ditemukan di masyarakat pegunungan Papua sebagai instrument ketahanan
pangan yakni :
Permata : Teknologi
penentuan musim tanam.
Kedua : Pola tanam campuran (multicop) dalam satu hamparan lahan. Masing-masing
komoditi ditanam
secara berurutan dengan umur tanam hingga panen.
Kearifan ketiga :
Pola penen tumbuh, yaitu memanen ubi jalar/petatas/hipere sesuai dengan
kebutuhan hari itu dan ditumbuhkan kembali umbi/akar bekas panen. Ubi
jalar bagi masyarakat Papua merupakan bahan makanan pokok selain sagu.Memanen
dengan cara menggali umbi dari tanah memerlukan keahliahan tertentu sehingga
bisa berproduksi sampai dua tahun bahkan tiga tahun.
Gagalnya masyarakat Papua khsususnya masyarakat pegunungan mengadopsi
teknologi anjuran bukan disebabkan mereka konservatif, tetapi lebih dkarenakan
rancang-bangun teknologi anjuran yang bersifat top-down – sistem komando dari
atas kurang memperhatikan partisipasi masyarakat, sehingga tidak sesuai dengan
kondisi sosio-ekonomi dan ekologi masyarakat Papua. Dampak yang sedang
dirasakan, “pertanian bapak”dan makanan “mama” yang diturunkan oleh nenek
moyang mereka tergantikan oleh makanan siap saji (fast food) seperti mie instan
yang sudah tersimpan di para-para dapur ibu-ibu di pelosok kampung.
Gangguan Raskin, petani Papua tidak mengenal kegiatan pascapanen terhadap
produksi pertaniannya. Mereka penen hanya sesuai kebutuhan untuk makan, sisanya
dijual, makanan ternak, dan untuk bibit, mereka menjual produk pertanian bila
ada pemesan dan sangat membutuhkan uang.
Namun
sekarang generasi muda atau kaum terpelajar yang tinggal di kota lebih senang
makan nasi dari beras, Setiap keluarga biasa menyiapkan beras dan ubi untuk
persediaan pesta. Makanan siap saji
(fast food) seperti seperti dalam skala kecil supermi dll, dalam skala besar McDonaldisasi,
Burger, Kopi McCafe dll. Waralaba restoran global ini sudah ada dimana-mana.
Sudah ada satu dekat denganmu, dan sekarang ada satu lagi yang sedang dibangun bahkan
lebih dekat. Sebentar lagi, jika Mcdonald meluas dengan cepat seperti sekarang
ini, maka dia akan masuk dirumah anda dengan perkembangan IPTEK tinggal kelik Online Pesan langsung diantar kerumah-rumah. Bergesernya pola konsumsi dari
alamiah menjadi modern mempengaruhi gaya hidup, lihat saja di Kota Jayapura
sudah menjamur Waralaba kuliner alah globalisasi. Pertemuan semi rapat sampai
dengan rapat formal, seminar, konfensi, kongres dll jarang kita temukan
makan-makanan khas Papua yang disajikan, adapun kalau disajikan banyak yang
memilih makanan modern ketimbang makanan alamiah alias tradisional fenomena ini
kita dapat rasakan dan melihat sendiri nanti kalau sudah vonis dokter gula darah
tinggi, kolestrol maka yang bersangkutan berahli pada makanan yang alamiah
(Tradisional). Budaya bukan saja tari-tarian saja, makanan juga bagian dari
budaya atau identitas yang harus selalu di perkenalkan, kalau bukan kita siapa
lagi? kalau bukan sekarang kapan lagi?
Beras apalagi
sudah ada program beras raskinmu (beras untuk keluarga miskin dan murah) dari
Pemerintah dengan harga Rp.1000 perkilo gram, beras menjadi primadona. Tak
ayal, telah terjadi perubahan pola konsumsi dan ritme bekerja di ladang.
Lebih memprihatinkan bertepatan kalau terjadi perang suku yang membuat
mereka takut ke luar rumah. Ladang luput dari penjagaan, babi masuk merusak
tanaman. Dari sisi awal kerawanan pangan terjadi. Dampak jangka panjang adalah
terkikisnya nilai-nilai sosial berupa etos kerja dan inovasi petani.
Keberadaan kearifan lokal
masyarakat Papua diperkuat oleh Susanto dan Suparlan (1989) bahwa ketahanan
pangan di suatu daerah terutama pedalaman lebih disebabkan oleh adanya potensi
ketahanan sosial budaya pada kehidupan masyarakat tradisional atau etnik
tertentu. Ketahanan sosial budaya dalam hal pangan pokok diartikan terciptanya
kondisi sosial dan budaya dalam hal pangan pokok diartikan terciptanya kondisi
sosial dan budaya masyarakat yang
stabil dalam proses kehidupan rutin sehari-hari. Kebiasaan pangan (foot habits)
yang menyangkut pangan pokok relatif tidak tergoyahkan walaupun terjadi
goncangan-goncangan ekonomi dan politik.
Dari uraian
di atas, masyarakat Papua secara turun-temurun telah memiliki “ pertanian Bapak
dan “Makanan Mama” yang sudah terpolakan sejak lama. Apabila budaya pertanian
tersebut ditinggalkan maka tidak menutup kemungkinan terjadi kerawanan pangan,
kelaparan, hingga menyebabkan kematian penduduk. Kuncinya adalah mengembalikan
atau adaptasi budaya pertanian Papua yang sudah terenggut modernisasi.
Penjalasan
tentang Makanan Mama dan Pertanian Bapak akan dijelaskan tersendiri pada uraian
dibawah.
Ketergantungan
Pangan
Ketergantungan hingga 60 persen
pasokan makanan hidup pokok masyarakat seperti beras, sayur-sayuran, telur,
daging dan serangan makanan siap saji (fast foot) dari luar Papua mengancam
ketahanan makanan lokal. Di sisi lain 40 persen produk pangan lokal
berfluktuasi ketersediaannya dan belum mampu mencukupi keutuhan lokal. Pergeseran
pola makanan tradisional atau dikenal dengan pola makanan mama ke makanan
modern seperti nasi dan serbuan makanan siap saji ikut mempercepat kerawanan
pangan di Papua khususnya di wilayah pemekaran baru yang belum mengambil langka
strategis untuk menghadapi fenomena globalisasi foot.
Dalam jangka panjang rawan pangan
akan menyebabkan instabilitas sosial, ekonomi dan politik sedangkan jangka
pendek adalah kelaparan dan kemiskinan . Hal ini sangat mungkin terjadi di
tengah gejolak politik yang mengarah ke
disintegrasi bangsa akhir-akhir ini.
Kelaparan terjadi bila produksi
pangan lokal terhenti akibat turunya aktivitas pertanian seperti yang pernah
dialami oleh masyarakat Yohukimo dan dataran tinggi lainnya di Papua. Sedangkan
dampak laten kelangkaan pangan adalah kemiskinan karena 80 persen penduduk
Papua menggantungkan hidupnya dari usaha pertanian dan tinggal di perkampungan,
kemiskinan di Papua mencapai angka 30-40 persen dari 2,3 juta jumlah
penduduknya. Kelaparan dan kemiskinan akan mengakibatkan lost generation
(hilangnya satu generasi) yang akibatnya hilangnya suatu peradaban di Papua.
Masih ada
“Pertanian Bapak” dan Makanan “Mama”
Pertanian
“Bapak” adalah kegiatan bercorak tanam dan berternak yang dilakukan oleh
masyarakat lokal Papua yang diperoleh dari proses pembelajaran secara turun-temurun
hingga kini masih digunakan dalam rangka mempertahankan sumber makanan pokok
dan ekonomi orang Papua. Karena masyarakat Papua menganut sistem keluarga besar
Patrineal (otoritas pada laki-laki) maka dalam aktivitas pertanian didominasi
oleh kaum bapak. Dari sinilah defenisi pertanian bapak tercetus berbeda dengan
pertanian konvesional yang kita saksikan di luar masyarakat Papua seperti
menanaman pada di sawa.
Seperti dijelaskan diatas model pertanian
bapak dan makanan mama telah mampu mempertahankan ketersediaan pangan lokal di
Papua. Hasil pendataan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua pada tahun
2017 produksi uji jalar mencapai 101.710
ton, dikonsumsi hanya 31,125 ton. Hal ini menunjukkan kebutuhan uji
jalar masyarakat Papua tercukupi oleh lokal dan bahkan berlebih. Kelebihan
Produksi tersebut menjadi suatu tantangan untuk memanfaatkan ubi jalar menjadi
aneka produk olahan yang memiliki daya saing tinggi.
Namun, empat tahun terakhir setelah
program raskinmu yaitu beras untuk keluarga miskin dan murah masuk kampung,
terjadi perubahan pola konsumsi dan berkurangnya kegiatan di ladang. Di satu
sisi inovasi atau pengetahuan teknologi
pertanian yang diberikan kepada petani lokal tersebut belum dipahami
dengan mapan, program sering terhenti ditengah jalan dan tenaga penyuluh pun
dengan alasan sarana yang sangat minim enggan turun ke lapangan. Saat itulah
ladang masyarakat ditinggalkan, rawan pangan terjadi di Papua.
Defenisi makanan mama adalah jenis
makanan khas atau tradisional suatu daerah seperti Papua yang dibuat dan
dikonsumsi secara turun-temurun oleh suatu kelompok masyarakat. Karena masalah
makanan atau urusan dapur atau pekerjaan ibu atau mama-mama maka disinilah asal
usul istilah “makanan mama” tersebut.
Kita mengenal makanan mama seperti :
Papeda, berapan, ubi atau keladi bakar, sayur gedi, buah merah, ikan asar dan
sebaginya yang belum sempat teridentifikasi. Pertanyanya adalah sejauhmana
keberadaan makanan mama tersebut, apakah masih menjadi konsumsi utama
masyarakat kampung atau bahkan di kota ada grai seperti swalayan dan warung
menjual makanan khas Papua?
Ekstensi makanan mama tersebut akan mempengaruhi
ketahanan pangan di Papua karena prinsip ekonom Produksi dipengaruhi oleh
permintaan (konsumsi) komoditi itu sendiri. Bagaimana mungkin petani kita mau
menanam ubi jalar kalau permintaan atau yang
memakan ubi jalar itu tidak ada. Gejala
ini sudah nampak dipasar jenis
komunitas makanan mama tidak laku dan mulai langka. Masyarakat lebih senang dan
terpandang membeli atau belanja makanan siap saji (fast food) seperti mie
instan, bumbu masak saset, minuman botol atau ikan keleng, minuman botol kaleng
berenergi di restoran, café atau swalayan.
Komsumsi
makanan siap saji mie instan dan makanan keleng sudah merambah ke
kampung-kampung, bahkan mie instan segala merk sudah menjadi bahan makanan yang selalu disiapkan di para-para
dapur mama-mama kita di Kampung-Kampung Papua. Begitu dahsyatnya serbuan
makanan seperti beras dan fast food yang sesungguhnya menguntungkan produsen
luar dan sebaliknya mengancam ketahanan
pangan lokal Papua.
Boleh
jadi di masa akan datang generasi Papua
tidak tahu lagi makan khas Papua seperti : Papeda ubi, keladi bakar. Padahal makanan mama tersebut memberi
makna filofori yang saat bernilai dalam kehidupan keluarga misalnya untuk
perdamaian, kebersamaan d an gotong – royong. Barape n (menggunakan ubi-ubian menggunakan panas
batu) adalah prosesi mengajikan makanan mama dalam rangka perdamaian perang
atau sengketa adat.
Dari segi keseimbangan gizi dan
kehalalan makanan modern / fast food luput dari perhatian akal sehat kita ,
yang penting keluar di iklan TV langsung
di komsumsi karena kita tidak banyak tahu atau tidak mau tahu dibuat dari bahan
dasar dan zat pengawet apa. Sekarang ini adalah era di mana orang membeli
barang bukan karena nilai kemanfaatnya namun karena gaya (hidup), demi sebuah
cerita yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat Televisi, tayangan
sinetron, acara infotainment, ajeng kompetisi para calon bintang, gaya hidup
selebriti, dsb. Yang ditawarkan iklan bukanlah nilai suatu barang, tetapi citra
dan gaya bagi pemakainya tidak penting apakah barang itu berguna apa atau
tidak, diperlukan atau tidak oleh konsumen. Karena itu yang kita konsumsi
adalah makna yang dilekatkan pada barang itu, sehingga kita tidak pernah mampu
memenuhi kebutuhan kita. Kita menjadi tak pernah terpuaskan. Kita lalu menjadi
pemboros agung, mengonsumsi tanpa henti, rakus dan serahkan. Konsumsi yang kita
hasilkan justru menghasilkan ketidak puasan kita menjadi teralienasi karena
perilaku konsumsi kita. Pada gilirannya ini menghasilkan kesadaran palsu.
Seakan-akan terpuaskan padahal kekurangan, seakan-akan mampu pada hal miskin.
Kita tidak sedang hidup dalam
masyarakat bercukupan tapi dalam masyarakat pertumbuhan. namanya Ideologi
pertumbuhan selalu menghasilkan dua hal, kemakmuran dan kemiskinan, Makmur bagi
yang diuntungkan (Kapitalisme) dan miskin bagi yang terpinggirkan.
Kenyataannya, pertumbuhan adalah alat untuk membatasi ruang gerak orang-orang
miskin. Kerena itulah ideology sengaja dilanggengkan untuk menjaga sistem.
Pertumbuhan adalah fungsi kemiskinan, kata Baudrillard, pertentangan yang ada
di dalamnya mengarah pada kemiskinan psikologis dan kefakiran sistematis karena
“kebutuhan” akan selalu melampaui produksi barang. Akibat kita sering mengkomsumsi makanan tidak
bergizi dan baik. Maka jangan heran banyak bayi lahir dalam kondisi fisik dan
mental tidak normal yang di duga mengkomsumsi makanan yang sudah tercemar
zat-zat adiktif mengganggu keseimbangan
fisiologi embrio atau janin.
Makanan mama yang dimasak dan
diracik sendiri oleh mama kita sendiri sangat jelas bahan dasar, bumbu,
kebersihannya karena sejak nenek moyang mereka tidak pernah mengalami hal-hal
yang tidak diinginkan bersama. Ketika kita melupakan makanan mama, sebenarnya
kita telah membuat diri kita tercerabut dari akar budaya sendiri. Sebab apa
yang kita terapkan sekarang dengan mengkonsumsi makanan modern hasil meniru
kebudayaan orang lain.
SUMBER RUJUKAN :
Sumber Buku :
George Ritzer, 2014. “Mcdonaldisasi Masyarakat”,
Penerbit Pustaka Belajar
Jean Baudrillard 2015. “Masyarakat Konsumsi” Penerbit,
Kreasi Wanaca
Mulyadi, 2014. Budaya Pertanian Papua “Perubahan Sosial dan Strategi
Pemberdayaan Masyarakat Arfak, Penerbit Kartika Media Yogyakarta.
Sumber Internet :